Menjadi seorang duda bukanlah hal yang mudah bagi Hasan. Kehilangan istri yang dulu sempat dicintainya membuatnya merasa sepi dan terkadang bingung menjalani hidup baru. Tidak jarang ia merindukan momen-momen bahagia bersama seorang istri, namun kehidupan harus terus berjalan. Karena tidak ingin berlarut-larut dalam kegalauan, Hasan akhirnya memutuskan untuk mencoba kembali mencari kebahagiaan.
Namun, yang menjadi masalah adalah statusnya sebagai duda. Setiap kali ia mencoba mendekati seorang gadis, kejujurannya tentang status tersebut seringkali menjadi hambatan besar. Apalagi di desa tempat tinggalnya, kebanyakan gadis masih berpikir bahwa seorang pria yang sudah berstatus duda, terlebih jika memiliki anak, akan membawa masalah tersendiri. Itu membuat Hasan merasa lebih sulit untuk diterima dan rasa percaya dirinya tidak seperti saat dulu.
Suatu malam, Hasan bersama Irfan, merencanakan untuk berkunjung ke rumah seorang gadis. Jarak antara rumah mereka dengan rumah gadis itu sekitar 7-8 kilometer, namun karena ingin melihat kesempatan baru, Hasan tak ragu untuk menempuh perjalanan itu.
Sesampainya di rumah gadis tersebut, Hasan merasakan kegugupan yang tak biasa. Ia tidak tahu bagaimana harus memperkenalkan diri dan berbicara tanpa membuat kesan yang salah. Gadis itu bernama Asnah, seorang anak perempuan yang baru saja akan naik kelas 3 SMP. Wajahnya polos, dengan mata yang cemerlang dan senyum yang menenangkan. Ia keluar dari rumahnya dengan mengenakan pakaian yang sederhana, namun tampak begitu rapih.
“Asnah, kenalin. Ini teman saya Irfan,” kata Hasan memperkenalkan sahabatnya.
Asnah tersenyum malu-malu dan segera mempersilakan mereka untuk duduk. Meskipun masih tergolong muda, Asnah sudah menunjukkan sikap yang sangat sopan dan terbuka. Tak terasa, percakapan pun mengalir dengan mudah di antara mereka bertiga. Hasan merasa nyaman, terutama dengan respon Asnah yang terasa begitu tulus, meskipun gadis itu terlihat sedikit kikuk dan malu-malu di hadapannya.
Saat jam menunjukkan pukul 10 malam, Hasan merasa sudah waktunya untuk pamit. Namun, sebelum pergi, ia merasa ada yang harus dilakukan. Dengan hati-hati, ia meminta nomor telepon Asnah, berharap bisa tetap berkomunikasi. Asnah terlihat sedikit bingung, namun dengan polosnya ia menjawab,
“Aku enggak punya handphone, Kak. Tapi aku punya Facebook, kalau Kak Hasan mau.”
“Facebook?” Hasan merasa sedikit lega karena masih ada cara untuk berkomunikasi. “Boleh, kasih tau nama Facebook-nya, ya.”