Hari itu matahari belum sepenuhnya naik ketika suara motor tua milik Irfan disewa Iwan, berderu melewati jalanan di desa tempat tinggalnya. Suara mesin sudah terdengar berisik, tetapi itulah kendaraan satu-satunya yang ia bisa andalkan. Wajahnya tampak tegang, tidak seperti biasanya. Ia baru saja keluar dari rumah orang tua Asnah, dan sebuah keputusan penting telah diputuskan pagi itu: orang tua Asnah meminta agar pernikahan mereka segera dilangsungkan. Tidak ada lagi waktu untuk menunggu.
“Walau Asnah belum cukup umur, Iwan. Kami percaya padamu. Tapi kami juga tak ingin berlama-lama. Kami ingin melihat anak kami menikah, secepatnya,” kata ayah Asnah dengan nada yang tegas, tapi tetap berwibawa.
Iwan hanya mengangguk waktu itu. Ia tidak ingin mengecewakan siapa pun, apalagi keluarga Asnah yang telah begitu mempercayainya. Tapi jauh di dalam hatinya, ia sedang berperang. Ia belum siap secara finansial. Tidak ada tabungan. Gajinya sebagai honorer di sebuah sekolah menengah hanya cukup untuk kebutuhan hariannya. Namun, rasa cinta dan tanggung jawab yang ia miliki pada Asnah membuatnya tidak bisa menolak permintaan itu.
“Kalau bukan sekarang, kapan lagi?” pikir Iwan, menatap jalanan berdebu di hadapannya.
Beberapa hari setelahnya, Iwan memutuskan untuk mengambil langkah yang mungkin tidak akan dilakukan oleh banyak orang: meminta bantuan secara sukarela kepada rekan-rekan guru di sekolah tempatnya mengajar. Ia tahu itu bukan hal mudah. Ia sadar bahwa tiap orang juga memiliki kebutuhan masing-masing. Tapi tidak ada jalan lain. Jika ia hanya mengandalkan gajinya, mungkin ia baru bisa menikah tahun depan, atau bahkan dua tahun lagi. Dan itu akan terlalu lama untuk menunggu.
Pagi itu, Iwan datang lebih awal ke sekolah. Ia menyiapkan surat kecil berisi permohonan bantuan secara sukarela. Surat itu ia buat dengan tangan sendiri, ditulis di selembar kertas HVS yang sudah mulai menguning. Ia tahu, tulisannya mungkin terlihat sederhana, tetapi setiap kata dalam surat itu ditulis dengan perasaan yang sangat dalam.
Saat waktu istirahat tiba, Iwan memberanikan diri menghampiri ruang guru. Ia menarik napas dalam-dalam, lalu mengedarkan suratnya kepada satu per satu guru di sana. Beberapa sempat terdiam saat membacanya. Beberapa lainnya tersenyum penuh pengertian.
“Sebelumnya saya mohon maaf bapak/ibu. Tapi ini hanya untuk yang benar-benar ingin membantu dengan ikhlas. Tidak ada paksaan sama sekali,” ujar Iwan dengan suara yang lirih, tapi tegas.