Ezar baru saja menerima bayaran uang muka dari dua tentara Romawi yang mewakili perwira mereka. Tentara itu pergi bersama tentara lainnya menggunakan kuda, menuruni bukit tempat gudang Ezar berada. Saat itu pula Sarjas, yang baru berpapasan dengan dua tentara penunggang kuda tadi, berjalan cepat mendekati Ezar.
“Sebaiknya kamu cepat ke pasar kalau tak mau Kayla keburu pergi!” ujar Sarjas. Keringat dan senggalan napasnya menandakan ia baru saja berlari dalam mendaki. Ia baru saja kembali dari tukang besi untuk membeli kapak baru. Ucapannya membuat Ezar mengambil tas selempang kulit dari tumpukan kayu, lalu berjalan terburu-buru sambil memasukan koin perak ke dalamnya.
“Jangan lupa tutup kayu dan kunci pintu!” seru Ezar sambil mempercepat jalannya menapaki jalan meurun.
“Jangan khawatir!” teriak Sarjas, walau maksudnya tidak sampai membuat Ezar langsung pergi tanpa beres-beres, Sarjas membiarkan sahabatnya pergi. Ia memaklumi ketergesaan orang yang sedang memperjuangkan cinta. Sarjas menutup tumpukan kayu yang sudah laku itu dengan kain putih agar tak terpapar terik matahari. Ia menutup pintu kayu besar bergantian, kanan lalu kiri, kemudian menguncinya dengan gembok besi berukuran besar. Setelah melihat seluruh bagian gudang kayunya, dan merasa yakin semua akan baik-baik saja, Sarjas berbalik dan melangkah lagi ke jalan setapak. Ia menuruni bukit menuju pasar yang tadi ia lewati, untuk menyusul Ezar. Ia tahu sahabatnya selalu panik saat menghadapi gadis incarannya, karena itu merasa perlu memberi dukungan, selain karena gadis yang ia sukai adalah sahabat dari gadis yang Ezar sukai itu.
Di pasar yang sudah mulai sepi Ezar sedang bersiap diri. Ia menghela napas dan mengumpulkan keberanian. Tatapannya sudah tertuju pada Kayla yang sedang mengemas kalung-kalung mutiara dagangannya. Ezar berjalan tegap melewati pedagang dan pembeli yang berhimpitan. Ia merapikan dulu rambut bergelombang sebahunya yang berwarna cokelat. Ia rapikan pula cambang, kumis, dan janggutnya yang bersambung agar tidak lagi awut-awutan.
Ezar berdeham dulu karena tak mau kejadian sebelumnya terulang, saat uc apan pertamanya mengandung serak dahak yang membuatnya malu.“Masih bisa beli?” tanya Ezar setelah yakin. Ucapan itu mengejutkan Kayla sampai langsung membalik tubuh. “Maaf!” seru Ezar salah tingkah. Ia gelapan saat Kayla sedikit mendongak melihat wajahnya yang berkeringat. Ia mengambil napas cepat agar terlihat tenang.
“Oh, kamu,” ucap Kayla. “Lagi?” tanyanya kemudian.
Ezar mengangguk. “Iya. Ibuku suka,” jawabnya.
“Memang rusak lagi?” tanya Kayla dengan senyuman. “Aku jadi khawatir pada kualitas kalungku jadinya,” tambah Kayla.
Ezar buru-buru menggeleng. “Oh, bukan! Karena memang ingin memberi model yang berbeda,” ucapnya beralasan. Kayla berbalik ke arah kumpulan kalung yang masih menggantung di salah satu tiang lapaknya. Ia mengambil rentengan itu kemudian memperlihatkannya pada Ezar.
“Mau yang mana?” tanya Kayla.
Ezar melihat kumpulan kalung itu. Ia tak benar-benar mencari mana yang paling indah. “Bisa tolong pilihkan?” ucapnya gelagapan.
Kayla tampak memilah kalung-kalungnya dengan satu tangan yang tak memegang. Ia menyodorkan satu yang didominasi pernak-pernik warna putih. Mutiaranya tidak banyak, tapi jajaran cangkang kerang warna putih membuatnya tampak cerah. “Mungkin ibumu akan suka ini,” ujar Kayla. Ezar langsung mengangguk lalu mengeluarkan keping perak dari tasnya. Ia menjulurkan tangan pemegang koin padas Kayla.
“Wah, tidak ada kembalian untuk koin sebesar itu,” ujar Kayla saat tahu itu koin perak Romawi.
“Dapat berapa dengan koin ini?” tanya Ezar.
Kayla tampak berpikir dulu lalu berucap “Lima pun dapat.”
Ezar tak punya waktu berpikir. “Ya sudah, aku beli lima,” ujarnya panik.
“Serius?” tanya Kayla dengan nada ragu bercampur senang. Menjual kalungnya segitu membuatnya bisa santai selama seminggu. Terakhir ada orang memborong perhiasannya adalah pejabat Romawi. Baru kali ini pribumi seperti Ezar antusias membeli perhiasan.
Ezar mengangguk. “Iya. Serius,” ucapnya tanpa raut yakin sedikitpun. Ia berusaha menghindar tatapan Kayla dengan menoleh kanan kiri walau batinnya ingin bisa berlama-lama menatap wajah Kayla. Tengokannya pada sekitar membuat Ezar bertemu pandang dengan Sarjas yang berdiri di ujung jalan pasar. Ia tahu kawannya merasa khawatir seperti juga dirinya.
“Ini,” ucap Kayla menyodorkan lima kalung yang sudah dipilihnya. Ezar malah kaget dengan itu.
“Oh, iya,” ucapnya gelagapan. Ia menatap lagi wajah Kayla sebentar lalu berdiri diam.
“Ada lagi?” ucap Kayla menatap Ezar. Keduanya sama-sama menunggu tanpa tahu apa yang ditunggu oleh lawan bicaranya.
“Euh, iya,” Ezar mengisi jeda kecamuk pikirannya lalu berucap, “Sudah, ini cukup,” tambahnya lalu menghela napas dan berlalu. Ia berjalan ke arah Sarjas yang terus menatapnya hingga mendekat, melihat ke arah bawaannya.
“Kamu beli lagi?” tanya Sarjas dengan raut kecewa.
Ezar menggeleng lalu menyerahkan semua kalung yang ia beli pada Sarjas. “Buat ibumu,” ucap Ezar.
“Ibuku tak suka pakai kalung!” kata Sarjas saat menerima. “Lima!” serunya lagi ketika tahu jumlah kalung di tangannya.
“Ia tak punya kembalian,” ujar Ezar. Alasan yang membuat Sarjas menggeleng.
“Tapi kamu bisa mencampur dengan gelang atau anting-anting setidaknya!” ucap Sarjas sewot. “Terus kamu sudah bilang ke dia?”
Pertanyaan itu membuat Ezar membeku menatap Sarjas yang balas menatapnya tajam. Tanpa mengucap, Sarjas tahu jawaban Ezar. Ia berpaling karena kecewa. Meninggalkan Ezar beberapa langkah yang mulai berjalan menyusulnya.
“Aku panik, aku lupa, aku,”
“Ya Tuhan, Ezar! Mau berapa kalung lagi kamu beli untuk sekadar bertanya hal lain selain dagangannya?” cerocos Sarjas dengan nada penuh kekecewaan. “Kita sudah membahas ini semalam. Aku sudah memberimu contoh kata-kata yang bisa kamu pilih! Apa tidak ada yang kamu ucap dari sekian banyak itu?”
“Maaf, aku takut,”
“Maaf itu untuk kamu sendiri, Ezar!” potong Sarjas lagi. Ia berhenti lalu menatap tajam Ezar. “Kalau kamu tidak juga benar-benar mendekatinya, kamu bisa kehilangannya! Berapa usia Kayla sekarang? Dua puluh? Dua puluh satu?”
“Dua puluh tiga,” jawab Ezar setelah mengingat bahwa Kayla seumuran dengan sepupunya.
“Dua puluh tiga!” seru Sarjas. “Laki-laki seurumurannya juga pasti mengincarnya! Kamu bisa lihat tatapan pedagang-pedagang muda di pasar pada Kayla, kan?”
Ezar mengangguk. Sarjas menepuk bahunya.
“Kamu sudah dua puluh tujuh tahun,” ujar Sarjas tegas. “Sudah waktunya, dan kamu pantas mendapatkan dia.”
“Aku akan coba lagi besok,” ujar Ezar.
“Dengan membeli kalung lagi?” goda Sarjas. “Kayu kita tidak selalu laku dibeli Romawi, Ezar! Mereka membeli kayu kita karena pemberontakan kaum Zelot! Mungkin besok-besok hanya pribumi yang akan membeli kayu kita,”
“Aku akan beli gelang,” ucap Ezar. “Lebih murah.”
Sarjas tertawa karena Ezar gagal menangkap maksudnya. Sarjas hanya berharap Ezar berani bertanya pada Kayla di luar transaksi jual-beli.
“Kamu hanya butuh keberanian!” seru Sarjas.
“Aku berani!” angguk Ezar tersulut karena disinggung keberaniannya. “Aku sudah lebih banyak bicara tadi,” tambahnya.
“Harus lebih,”