“Aku tak mau menemanimu lagi kalau hari ini kamu tak juga mengajaknya bicara soal lain,” ujar Sarjas lalu mengusap dahinya yang berkeringat. Ia melempar dulu kapaknya ke samping batang pohon kelima yang sudah ia tebang sejak pagi, lalu menenggak air dari tas air kulitnya.
“Bicara yang lain itu apa?” tanya Ezar sambil terus menebas batang pohon.
Sarjas menghela napas keluh sekaligus usaha mengistirahatkan paru-parunya. “Apa saja, selain membeli perhiasannya. Atau kamu bisa bahas soal pengajaran di kedai kemarin.”
Ezar menggeleng. “Kalau tanya itu dia bisa tahu kalau aku tidak menyimak pengajarannya. Kayla malah bisa tahu kalau kita hanya pura-pura.”
“Ya Tuhan, Ezar. Itu seharusnya tak jadi soal!” seru Sarjas. “Kepura-puraanmu di sana justru bisa menunjukan bahwa kamu bersungguh-sungguh dalam mendekatinya!”
Ucapan Sarjas berhasil membuat Ezar berhenti menebas lalu berpikir. Ia mulai mengerti maksud sahabatnya.
“Iya, begitu, berpikirlah, Ezar!” seru Sarjas lalu memungut kembali kapaknya. “Kamu pikir wanita tidak suka ketika kita berusaha dengan pura-pura?”
Ezar tak menjawab lalu kembali menebas batang pohon yang sudah hampir roboh. Empat tebasan berikutnya membuat Sarjas berhenti dulu menebang lalu mengikat bagian atas pohon yang sedang Ezar tebas dengan tali serabut. Sarjas menarik tali sekuat tenaga saat Ezar menebas lagi batang pohon hingga arah jatuhnya sesuai rencana.
“Kamu bisa bertanya soal rabi kemarin,” ujar Sarjas saat melepas ikatan tali pada batang pohon yang sudah terbaring. “Tentang dari mana, atau apa ajarannya, dan kenapa ia tertarik mengikuti pengajaran itu? Wanita akan suka ketika ditanya tentang hal-hal tentang dirinya.”
“Tapi aku sudah tahu tentang itu semua,” sahut Ezar. “Aku sudah tanya itu pada Mika.”
Sarjas mendecak keluh tepat di samping Ezar. “Untuk apa kamu melakukan itu?” tanya Sarjas dengan nada membentak. Ezar hanya merautkan heran.
“Bukankah lebih baik aku tahu tentang hal-hal yang berkaitan dengan dia? Gimana, sih?”
Sarjas menonjok bahu Ezar agak kencang. “Tahu itu memang bagus. Tapi tahu dari orangnya langsung, itu yang paling bagus! Intinya adalah bicara dengannya!” seru Sarjas lalu mengacak-ngacak rambut Ezar. “Jadi apa kita akan datang ke kedai itu lagi, atau cukup menunggu pengajaran itu bubar?”
“Menurutmu bagaimana?” tanya Ezar setelah meneguk air lalu bersendawa.
“Menurutku kita tunggu saja sambil minum arak,” jawab Sarjas. Ezar mengangguk setuju. Ia tahu bahwa maksud Sarjas adalah menunggu di kedai seberang.
Sore itu, selepas mandi di danau, keduanya berjalan menuju kedai. Mereka memesan arak dan ikan bakar lalu menyantap hidangan itu di teras kedai sambil melihat ke arah kedai tempat pengajaran berlangsung. Peserta pengajaran tidak seramai hari kemarin. Tidak ada anak-anak kecil atau orang tua yang berdiri di dekat jendela kedai seberang. Sesekali Sarjas da Ezar ikut tertawa atas lelucon para pengunjung yang duduk di dalam. Menjelang berakhirnya senja, mereka melihat orang-orang mulai berdiri dan keluar. Sarjas menyenggol bahu Ezar untuk mengajaknya berdiri. Ezar menenggak dulu arak sekali teguk lalu mulai berjalan mengikuti Sarjas. Keduanya menyeberang ke arah kedai pengajaran. Mereka berdiri di dekat tiang teras terujung. Seorang perempuan berkerudung keluar dari kedai bersama laki-laki. Kemudian tak ada lagi penampakan yang sama. Sosok-sosok yang keluar berikutnya hanya para pria tua. Sarjas sampai mendekati jendela untuk memeriksa bagian dalam. Tidak ada dua perempuan yang mereka nantikan.
“Apa jangan-jangan mereka tidak datang?” tebak Ezar setelah melihat juga ke dalam.
Sarjas mengangguk. “Iya, juga. Bisa jadi.”
“Salah kita tidak melihat dulu apakah Kayla ada di pasar,” ucap Ezar merasa sudah melakukan hal yang sia-sia. Sarjas menghela napas. Merasakan pula kelalaian yang sama. Ia terlalu yakin dengan perkiraannya. Sarjas pun mengangguk lalu menarik Ezar, mengajaknya keluar dari teras kedai. Keduanya berjalan ke arah pasar.
Ezar mulai sedikit berjinjit demi bisa melihat lapak Kayla lebih cepat. Orang-orang yang sedang menggotong peti ke atas kereta kuda di jalanan pasar membuat lapak Kayla terhalang. Tapi semuanya terjawab saat langkah keduanya sudah cukup dekat. Kayla tidak ada di sana. Bahkan pasar lebih sepi dari biasanya. Ezar melewati lapak Kayla untuk mendekati lapak Mika, pedagang minyak zaitun, yang lapaknya di samping lapak Kayla.
“Kayla sudah pulang, Mika?” tanya Ezar sebelum benar-benar berhadapan. Mika menoleh di sela-sela beres-beresnya.
“Kayla tidak jualan, Ezar,” jawab Mika. “Sepertinya dia ikut dengan para pedagang lain.”