“Apa kamu percaya bahwa guru mereka adalah bayi ajaib yang dulu pernah ramai diberitakan?” tanya Ezar sambil terus berjalan melewati jalan setapak di antara hutan yang sudah mereka lalui sebelas kilometer itu.
Sarjas langsung batuk mendengar pertanyaan Ezar, karena ia mendengar itu sambil meneguk air dari tas air kulitnya. “Tentu saja tidak!” seru Sarjas. “Aku tidak percaya sejak pertama dengar cerita itu!” tambah Sarjas sewot, merasa tersinggung karena Ezar bertanya seperti itu.
“Lalu bagaimana tentang cerita Musa dan leluhur kita yang menyeberangi laut terbelah?” tanya Ezar lagi. Sarjas mendecak lalu tersenyum sinis mendengar itu.
“Kamu benar-benar percaya kisah itu?” ujar Sarjas balik bertanya.
Ezar menaik turunkan bahunya. “Itu tertulis di Torah,” jawabnya.
Sarjas menghela napas lalu berkata “Tidak semua yang ada di Torah harus kita imani secara harfiah. Bisa saja itu kiasan.”
Kali ini Ezar sampai menoleh. Ia lanjut bertanya “Jadi menurutmu kisah itu kiasan?”
Sarja mengangguk. “Harus begitu,” jawabnya. “Sebuah tongkat membelah lautan,” ujar Sarjas dengan nada yang menyiratkan bantahan.
“Lalu apa maksud kiasan itu menurutmu?”
Sarjas tertawa dulu baru menjawab, “Entah lah, Ezar,” katanya lalu mulai berpikir. “Mungkin tongkat itu simbol hukum yang ditegakan oleh Musa, dan lautan itu adalah masalah yang sangat banyak.”
Ezar mengangguk-ngangguk. “Boleh juga ilmu agamamu.”
Sarjas tertawa lagi, kali ini sambil mendorong bahu Ezar hingga hampir tersungkur ke batang pohon kurma yang menandakan bahwa langkah mereka sudah berada di awal area kebun. “Kalau menurutmu bagaimana, wahai cucu Rabi Samad?” tanya Sarjas dengan sindiran.
Ezar menggerakan lagi bahunya sekali. “Menurutku bukan hal yang sulit bagi Tuhan untuk membelah lautan. Itu kalau memang Dia Maha Kuasa.”
Kali ini Sarjas yang mengangguk-ngangguk. Ia lalu memenuhi desakan pikiran usilnya dengan berucap “Jadi apa menurutmu Tuhan bisa menciptakan lautan yang tak bisa ia belah?”
Ezar mengerutkan kening dan menoleh sinis pada Sarjas. “Apa sih maksudmu?”
“Aku hanya bertanya,” ujar Sarjas. “Kalau memang Dia bisa menciptakan sesuatu yang tidak bisa Dia kendalikan, apakah itu bentuk kemahakuasaanNya, atau justru bukti bahwa Dia tidak Maha Kuasa?”
Ezar menghela napas keluh mendengar itu. “Ah, persetan!” seru Ezar lalu disambut tawa oleh Sarjas, yang membuatnya tertawa pula. Saat ia menunduk, Ezar menunjuk ke bawah, ke arah jalanan di sisi kebun kurma dekat persimpangan jalan setapak. Ezar berhenti tepat di depan plang kayu yang menjadi petunjuk jalan.
“Mereka jelas ke kiri,” ujar Ezar setelah melihat jejak tapak kaki manusia, keledai, roda gerobak.
Sarjas mengangguk. "Ke Efraim," ujarnya teringat kabar dari Mika.
Ezar menyahut dengan anggukan. “Kita masih punya waktu kalau mau mampir dulu ke rumah kakekku.”
Sarjas tampak berpikir. Ia sudah sangat rindu pada Amira. Penasaran pada keadaannya dalam perjalanan bersama rombongan guru barunya. Tapi ia juga berharap dapat makan siang gratis sebelum melanjutkan perjalanan.
“Kakekmu tidak akan banyak ceramah, kan?” tanya Sarjas memastikan dulu, karena reputasi kakek Ezar sebagai rabi yang tegas, membuatnya terkenal sebagai orang yang doyan ceramah.
Ezar menggeleng lalu menjawab. "Tidak, selama kamu tidak bertanya,” jawab Ezar.
“Kalau begitu kita mampir dulu,” ujar Sarjas. Keduanya lalu mengambil jalan kanan di persimpangan menuju perkampungan tukang batu, tempat kakek Ezar tinggal. Perkampungan dengan kebanyakan rumahnya dibangun dengan batu terbaik dari berbagai penjuru tanah Israil. Rumah di sana kebanyakan berlantai dua dengan atap tambahan untuk menjemur pakaian.
Saat masuk ke perkampungan lebih jauh, mereka berpapasan dengan tiga orang musafir. Dua pria dan seorang wanita. Pria yang lebih tua memanggul tas, sementara yang lebih muda memanggul gulungan kain tenda. Wanita yang terlihat muda di belakangnya menyelempangkan tiga tas kulit sekaligus. Tatapan ketiganya tampak bersiap menyapa Sarjas dan Ezar dengan senyuman tipis.
Seyuman yang paling tua melebar lalu berkata, “Apakah kalian bertemu rombongan Masiah saudaraku?”
Sarjas dan Ezar berhenti karena sapaan pertanyaan itu. “Tidak, paman,” jawab Sarjas. “Tapi kami yakin mereka ke arah selatan.”
Pria tua itu mengangguk lalu bersiap lagi melangkah. Namun Sarjas penasaran satu hal lalu bertanya, “Apa yang membuat paman ingin menyusul rombongan itu?”
Pria itu mengusap dulu janggut ubanannya lalu melihat dulu dua teman seperjalannya. “Kami mendengar pengajaran muridnya tiga hari lalu dan dia berkata bahwa gurunya adalah Masiah yang ditunggu.”
Ezar tak tahan untuk tidak ikut bertanya. “Ditunggu untuk apa, paman?” tanyanya.
Pria tua itu menoleh dan menatap Ezar. “Menyelamatkan kita orang-orang Israil.”
Ezar menunggu lanjutan penjelasan, namun tidak terjadi. “Menyelamatkan dari apa?” tanya Ezar lagi.
Pria itu berkedip dulu lalu menjawab, “Dari kebingungan kita. Setidaknya bagi orang-orang seperti kami.”