Para Pengganti

Agung Satriawan
Chapter #4

Perapian

Langit sudah semakin gelap. Meski sejak awal mereka tidak membuat kuda mereka berlari, Sarjas dan Ezar semakin melambatkan lajunya karena jalanan tanah yang semakin tidak terlihat.

“Apa cukup sampai di sini?” tanya Ezar saat menarik tali kekang untuk membuat kudanya berhenti.

Sarjas melihat dulu sekeliling sambil membuka tutup tas kulit berisi arak. Ia meneguk dulu sekali lalu menjawab, “Terlalu terbuka,” ucapnya setelah melihat tidak ada satupun titik berhenti yang agak tertutup. “Kita akan sulit membuat api di sini.”

Ezar mengangguk. Ia bisa merasakan angin malam cukup kencang. “Kalau kita lanjut beberapa kilometer mungkin kita bertemu tiga musafir yang tadi.”

Kali ini Sarjas yang mengangguk. Ia mengoper tas arak kepada Ezar. “Aku rasa mereka tak jauh dari sini.” ujcap Sarjas saat Eszar meneguk arak yang membuat hangat perutnya seketika.

Ucapan Sarjas membuat Ezar menghentak kudanya agar lanjut berjalan. Pandangan mereka pada jalan diperjelas dengan bantuan sinar bulan. Tiga kilometer berikutnya mereka mendapati sumur umum. Sarjas dan Ezar turun untuk memberi minum kuda mereka. Satu titik cahaya di sebelah timur menarik perhatian Sarjas. Keduanya pun menuntun kuda mereka ke arah cahaya itu.

Cahaya itu semakin jelas seiring langkah mereka yang mendekat. Kobaran api kecil yang perlahan menunjukan keberadaan tiga orang yang mengelilinginya. Salah satu yang sedang berbaring di depan tenda terbangun karena langkah Sarjas, Ezar, dan dua ekor kuda mereka.

“Bukankah kalian yang bertemu kami tadi?” tanya pria yang lebih muda yang mengeratkan genggamannya pada sesuatu. Sarjas dan Ezar tersenyum untuk menyapa.

“Betul,” jawab Sarjas. “Kamu bisa menyimpan pisaumu kembali,” ucapnya sambil berjalan ke arah pohon di sisi perapian dengan menuntun kudanya. Sarjas dan Ezar menambatkan kuda mereka pada batang pohon lalu mengambil tas kulit mereka. Ketiga musafir itu terus menatap mereka.

“Kalau tidak keberatan, kami ingin ikut di perapian kalian,” ujar Ezar sambil sedikit membungkuk. Pria muda itu tampak melihat dulu ke arah pria yang lebih tua, yang juga melihat dulu ke arah anaknya di bawah naungan tenda. Wanita itu merapikan dulu kerudungnya lalu mengangguk ke arah ayahnya sebagai isyarat setuju. Sarjas dan Ezar pun mendekati perapian dan duduk bersebelahan.

“Bukankah kalian berjalan kaki sebelumnya?” tanya pria tua. Suaranya menindih suara percik api yang membakar ranting-ranting kering yang menjadi bahan bakar perapian.

Ezar mengangguk. “Kami mendapat kuda ini dari Rabi Samad. Dia adalah kakekku,” jawab Ezar. Pria tua itu tidak menanggapi jawaban Ezar dengan ucapan ataupun gerakan. Sarjas bisa membaca kecurigaan dari ketiga musafir di sekelilingnya.

“Euh, namaku Sarjas, dan temanku Ezar,” ucap Sarjas sopan. “Dia cucu Rabi Samad dari perkampungan batu tempat kami singgah siang tadi. Boleh kami tahu nama kalian, paman?”

Pria tua itu diam lalu mengangguk pelan. “Aku Yosef, ini adikku Fayas, dan ini putriku Lena.”

Sarjas dan Ezar mengangguk dengan senyuman kepada orang-orang yang Yosef perkenalkan. Fayas dan Lena terlihat ragu membalas sapaan keduanya.

“Aku mengenal Rabi Samad,” ujar Fayas mengarah pada kakaknya. “Dia tidak percaya pada Masiah,” ucapnya lagi.

Yosef menatap adiknya kemudian Ezar. “Apakah kamu membicarakan soal Masiah dengan kakekmu?”

Ezar tidak siap dengan pertanyaan yang tiba-tiba itu. Ia berusaha mengerti dulu arah pembicaraan para musafir di hadapannya. “Yah, aku mendengar kakeknya bicara soal Masiah,” ucap Ezar perlahan. “Bahkan belum lama. Sebenarnya dia bukan tidak percaya Masiah. Kakeknya hanya tidak percaya bahwa rabi dari Nasira itu Masiah. Karena Masiah,”

“Dia buka rabi!” potong Lena. 

“Biarkan dulu, Lena,” ujar Yosef sambil memberi isyarat tangan untuk mencegah putrinya bicara lagi.

Ezar menatap dulu Lena lalu lanjut berkata, “Menurut kakekku, Masiah harus seorang ahli Torah dari golongan mereka.”

“Ahli Torah iya, tapi tidak dengan golongan mereka!” seru Lena. “Tidak ada Saduki yang bisa dipercaya,”

“Lena!” potong Yosef menyuruh putrinya tenang. “Kita tidak sedang berdebat,” tambah Yosef.

“Maaf, paman,” ujar Sarjas. “Kami tidak banyak tahu soal Masiah yang kalian pahami. Kami justru ingin tahu. Rabi Samad memang kakek sahabatku, tapi kami bukan murid beliau. Bisakah paman ceritakan soal itu kepada kami?”

“Sebaiknya jangan, kakak,” ujar Fayas. “Kita tidak bicara soal ini dengan orang asing, kan?”

Lihat selengkapnya