Para Pengganti

Agung Satriawan
Chapter #5

Sisi Luar

“Terimalah ini sebagai rasa terima kasih kami,” ujar Sarjas seraya menyodorkan gulungan daun berisi potongan daging domba yang mereka bawa dari kakeknya Ezar kepada Yosef.

“Kalian tidak perlu melakukan ini,” ujar Yosef mengutarakan ketulusan.

“Tidak, kami sangat berterima kasih atas perapian kalian,” desak Sarjas. Yosef menerima itu lalu mengangguk. “Semoga Tuhan melancarkan pencarian kalian,” ujar Yosef lagi. Giliran Sarjas yang mengangguk. 

Sarjas menyusul Ezar yang sudah lebih dulu menunggangi kuda putihnya. Fayas dan Lena yang sedang memasak air dari katel berdiri dulu melepas kepergian keduanya. 

Warna merah di ufuk timur mulai jelas. Sarjas menganggap itu waktu yang tepat untuk melanjutkan perjalanan karena jalanan sudah terlihat cukup jelas. Sarjas menolak ajakan Ezar untuk ikut menyantap sarapan bersama tiga musafir yang menampung mereka. Sarjas merasa resahnya hanya hilang jika sudah bertemu dengan Amira untuk tahu bahwa dirinya baik-baik saja.

Ezar tidak mengira bahwa Sarjas akan memacu kudanya sedemikian cepat. Membuatnya merasa sedang balapan dengan sahabatnya sendiri. Ezar menahan diri untuk mempertanyakan itu sepanjang setengah hari, sampai saat tengah hari di sebuah persimpangan desa, ketika Sarjas yang beberapa meter di depannya melambat, Ezar tak tahan lagi.

“Kenapa buru-buru sekali, sih?”

Sarjas menoleh menatap Ezar yang menyejajari laju kudanya. “Memang kamu tidak rindu?” tanya Sarjas.

Ezar mengerutkan keningnya. “Rindu siapa?”

Sarjas tertawa melihat Ezar. “Kayla, lah.”

Ezar hanya tersenyum, meragukan tanggapan Sarjas adalah sikap sebenarnya. “Kamu saja yang rindu Amira.”

Sarjas mengangguk. “Tentu,” jawabnya, membuat Ezar cemberut karena memarahi dirinya yang tidak seterus terang Sarjas. Ia masih saja merasa malu bahkan di hadapan sahabatnya itu. 

“Tapi aku lebih merasa khawatir,” ujar Sarjas.

“Pada siapa?” tanya Ezar.

Sarjas merautkan seolah ia sedang berhitung. “Amira, Kayla,” jawabnya. “Dan semua orang yang berada dalam rombongan itu.”

“Kenapa?” tanya Ezar saat mereka melewati perkampungan yang menjadi arah tujuan. “Bukankah kamu baru saja menyebut Masiah sebagai orang yang sangat pintar?”

“Betul,” jawab Sarjas mengangguk. “Yang kita tidak tahu, sampai kapan pengajarannya berakhir?”

Ezar merasa masih ada yang perlu ditanya. “Memangnya kenapa kalau berakhir?”

Sarjas menghela napas setelah membayangkan hal itu terjadi. “Bahkan mungkin sebelum pengajarannya berakhir. Karena setelah itu, ancaman besar akan menimpa Masiah dan para pengikutnya. Mereka tidak mengangkat senjata karena sadar musuh mereka terlalu banyak dan kuat.”

Ezar mengangguk mulai memahami perhitungan Sarjas. “Hanya soal waktu,” gumam Ezar yang terdengar oleh Sarjas.

“Karena itu kita harus membawa keluar Amira dan Kayla sebelum itu terjadi,” ucap Sarjas dengan raut khawatir. Ucapannya membuat Ezar mengangguk dan menghentak kaki pada perut kuda tunggangannya. Sarjas menyusul melakukan hal yang sama. Keduanya melewati perkampungan-perkampungan selanjutnya, pasar, kebun, dan hutan, hingga waktu senja pun tiba. Mereka bahkan menyantap bekal daging domba tanpa berhenti. 

Sebuah rombongan berisi dua puluhan orang pejalan kaki dan penuntun keledai mereka temui di sebuah sumur tua yang dibangun tentara Romawi, terlihat dari angka yang tertera pada plang kayu di bagian atapnya. Dua lelaki terbelakang terlihat baru saja minum dan mengisi ulang bekal air mereka. Sarjas mendekati sumur itu lalu turun dari kudanya.

“Hendak pergi kemana kalian, saudaraku?” tanya Sarjas dengan senyuman.

Lelaki yang terlihat masih muda itu membalas senyuman Sarjas. “Kemanapun guru kami pergi,” jawabnya.

Ezar turun dan menuntun kudanya mendekati sumur saat Sarjas kembali bertanya “Dan siapakah kalian guru itu?”

Pemuda itu tampak melihat dulu kawannya yang bertudung dan terlihat seumuran. Sarjas tersenyum dan berkata untuk memudahkan jawaban. “Apakah Masiah yang dijanjikan?”

 Dua pemuda itu tampak kebingungan. “Kalian mengenalnya?” tanya yang bertudung.

Sarjas mengangguk. “Kami ingin mendapatkan pengajarannya,” jawab Sarjas. Dua lelaki itu tersenyum kecil.

“Kami adalah rombongan Masiah” jawab lelaki pertama. “Saat ini Masiah di depan kami satu kilometer saja di depan sana,” tambahnya sambil memberi arah tunjuk dengan tolehan wajah ke arah barat.

Lihat selengkapnya