“Sudah, jangan terlalu dipikirkan!” goda Sarjas saat melihat Ezar masih merenung di bawah bayangan pohon dekat bebatuan, tiga puluh meter dari tenda Amira dan Kayla. Mereka sudah menjauh karena tak ingin merepotkan orang-orang yang sedang berpuasa. Sarjas dan Ezar duduk bersandar pada batang pohon yang sama.
“Memang kamu tahu apa yang aku pikirkan?” tanya Ezar.
Sarjas menebak sesuai prasangkanya. “Tentang roti itu, kan?”
Ezar menghela napas lalu mengangguk. “Iya,” jawabnya hampir seperti bergumam. “Kalau Amira dan Kayla menyebutnya sebagai mukjizat, berarti mereka tidak melihat apapun yang bisa dijadikan alasan munculnya roti-roti itu.”
Sarjas melihat-lihat sekitar dulu, karena tak ingin ada yang tersinggung lalu, baru kemudian berucap “Bisa saja ada rombongan lain yang agak jauh dari sini, yang menyiapkan roti-roti itu,” bisik Sarjas tegas. “Apa sih istimewanya?” lanjut Sarjas dengan nada mengajak Ezar untuk tidak berpikir berlebihan.
Ezar diam mendapat jawaban itu Ia menghela napasnya tanda lega. Ucapan Sarjas ternyata masuk ke dalam logikanya.
“Aku ingatkan lagi,” ucap Sarjas, kali ini tidak dengan bisikan. “Kita datang untuk Amira dan Kayla.”
Ezar lalu mengangguk setuju. Akhirnya ia merasa punya waktu yang lapang untuk tidur siang. Saat Ezar tidur itulah Sarjas berkali-kali berdiri dan berjalan menjauhi pepohonan untuk bisa melihat tenda Amira. Tidak ada siapapun di depannya, selain seorang ibu yang sedang mengasuh anaknya.
Bayangan pepohonan semakin mengarah ke timur. Langit sudah mulai kemerahan. Suara lantang terdengar dari tanah yang lebih tinggi tempat Masiah dan lingkar terdekatnya berada. Sarjas yang baru sempat terlelap sesaat kemudian membuka mata lagi dan mencoba menangkap suara yang terdengar barusan.
“Makan roti ini untuk perjalanan kalian!” teriak suara itu. Sarjas hampir saja membangunkan Ezar, namu batal saat mendengar kata ‘roti’ diucapkan. “Makan roti ini untuk berbuka bagi yang berpuasa!” ucap teriak itu lagi. Sepersekian detik setelah ucapan itu membuat Sarjas terpikir sesuatu. Ia berjalan cepat ke arah depan, namun berkelok ke sisi utara sebelum mendekati kerumunan utama. Ia lalu mulai berlari saat tak ada lagi orang yang menghadap ke arahnya. Sarjas mulai melihat pepohonan rindang di belakang kerumunan utama tempat Masiah dan murid-muridnya berada. Tidak ada kelompok lagi di area itu. Sarjas mempercepat langkahnya berlarinya. Ia tidak ingin keburu terlambat untuk sebuah pembuktian. Sarjas sudah melihat ujung pepohonan yang menjadi latar hamparan tanah yang lebih tinggi. Sarjas baru akan berbelok ke ujung pepohonan sebelum menabrak seekor kuda putih yang membuatnya terkejut dan terpental.
Papasan itu membuat Sarjas ambruk ke tanah. Jantungnya berdebar cepat dengan napas terengah-engah saat ia mencoba langsung berdiri. Tapi kepala kuda itu menghalanginya untuk duduk sempurna. Sarjas menahan tubuhnya dengan kedua lengannya yang berbalut tanah berpasir. Hembusan napas kuda itu begitu terasa. Sarjas baru bisa melihat penunggangnya ketika kuda itu menyingkir darinya.
“Hendak kemana, anak muda?” tanya pria berjanggut putih, seputih warna kudanya, dengan tudung dari jubah hitam yang menutupi hampir seluruh rambutnya yang pendek berwarna putih pula. Semua uban yang menutupi kepalanya terlihat tidak cocok dengan wajahnya yang belum banyak kerutan. Sarjas pernah bertemu orang-orang berambut seperti itu, tapi tidak pernah melihat yang setampan ini.
“Euh, saya ingin,” Sarjas berpikir cepat lalu melanjutkan, “Buang air.”