Para ayah sudah menggendong anak-anak mereka, sebagian dililit dengan selimut di bagian depan, sebagian digendong di belakang. Beberapa anak bersama ibunya menunggang keledai. Yang sudah sangat renta berbaring ditandu yang diseret oleh anak-anak mereka. Sarjas bahkan bisa melihat ternyata ada dua ekor unta yang dijadikan tunggangan oleh dua orang yang menempati sisi barat padang rumput.
Sekarang Sarjas tahu alasan perjalanan dimulai saat malam. Itu karena perjalanan mereka melewati padang pasir menuju Sungai Yordan. Tujuan yang Sarjas dapati informasinya dari Timoti saat sedang bersiap-siap.Kelompok terdepan berisi para pria-pria muda yang membawa obor minyak. Memberi contoh arah melewati jalur padang pasir yang biasa menjadi jalur perdagangan karavan. Padang pasir yang terlalu panas jika dilalui saat siang.
Sarjas dan Ezar selalu melihat ke arah Amira dan Kayla secara berkala yang berjalan lebih depan dari mereka. Sarjas sudah menandai ciri khas dari tas panggul Amira dan tas selempang Kayla yang berwarna hijau, karena jubah dan kerudung kebanyakan wanita di sana hampir sama semua, kalau tidak berwarna putih, berwarna hitam. Kerudung yang sama-sama sering tersibak terpaan angin malam.
Ezar mengira-ngira, bahwa kelompok terdepan rombongan ini di depan berjarak sekitar dua ratus meter, dan saat Ezar melihat ke arah belakang, ia tak bisa melihat ujungnya karena gelap. Di tengah-tengah rombongan semua orang hanya mengandalkan bantuan cahaya bulan yang membuat mereka bisa berjalan searah dengan orang-orang di depannya. Beberapa anak kecil yang masih kuat berjalan tampak semangat. Rambatan suara dari depan membuat mereka terdengar bernyanyi yang kemudian Ezar sadari sebagai shema.
“Shema Yisrael Adonai Eloheinu Adonai Ehad! Shema Yisrael Adonai Eloheinu Adonai Ehad!” Lantunan dari Torah yang Ezar ingat itu membuat derap langkah kaki anak-anak mengikuti iramanya. “Dengalah Israil Tuhan Kita adalah Tuhan Yang Esa!”
Ketika bulan sudah berpindah arah. Langkah orang-orang sudah mulai melambat karena lelah, sebuah teriakan dari depan merambat sampai ke dekat Sarjas.
“Istirahat, orang-orang Israil!”
“Istirahat, saudara-saudaraku!”
Lalu perhentian itu pun merambat ke semua kelompok. Lalu suara derap kaki kuda terdengar dari depan seiring teriakan dari suara yang Sarjas ingat.
“Tidak perlu membuat perapian, kecuali bagi mereka yang tidak kuat!” seru Orjan dengan kuda barunya yang melaju di sisi terluar. Sarjas kuda itu adalah kuda yang sebelumnya ditunggangi oleh murid Masiah yang Amira sebut dengan Andariyas.
“Tidak perlu membuat perapaian, kecuali bagi mereka yang tidak kuat!” teriak Orjan lagi sampai kudanya tidak terlihat di belakang sana. Sarjas tahu bahwa itu artinya mereka tidak akan bermalam di sini, melainkan hanya berhenti sebentar. Sarjas melihat orang-orang duduk. Kebanyak menyisi mencari gundukan tanah berumput di antara hamparan pasir. Orjan sudah kembali ke bagian depan dengan teriakan yang sama. Sarjas pun melangkah ke arah yang sama namun tidak begitu jauh. Ezar mengikutinya dari belakang.
“Kalian masih kuat?” tanya Sarjas saat melihat Amira yang sedang duduk di atas tas punggungnya yang tergeletak. Wajahnya terlihat merautkan kelelahan. Hampir-hampir Sarjas mengajaknya untuk pulang, namun masih merasa ini bukan waktu yang tepat.
Amira mengangguk. “Masih,” jawabnya. Sarjas menunggu Ezar menanyakan hal yang sama kepada Kayla dengan menatapnya. Ezar pun bergeming.
“Kamu masih kuat, Kayla?”
Kalya pun mengangguk. “Masih,” ucapnya lalu meneguk minuman dari tas kulitnya.
“Kita bisa bermalam di sini,” ujar Sarjas setelah melihat sekeliling. Ia hanya mulai beusaha melempar wacana pulang untuk Amira dan Kayla.
“Sesuai Masiah saja,” ucap Kayla yang langsung memupuskan tahap berikutnya dari usaha Sarjas.
“Sudah lapar? Kami masih punya daging domba matang dari kakeknya Ezar,” ucap Sarjas melihat ke Amira dan Kayla. Keduanya menggeleng.
“Kota mana yang akan Masiah datangi setelah menyeberang sungai Yordan?” tanya Sarjas.
“Aku tidak tahu,” jawab Amira. “Yang pasti kita menuju Yerusalem.”
Ezar tampak mengingat-ngingat. “Kalau ke utara mungkin ke Sikhar. Kalau ke selatan mungkin Efraim atau Yerikho.”
Amira dan Kayla tampak mengangguk. Sarjas mengangguk belakangan lalu berkata, “Jika berhenti di banyak kota, mungkin baru akan sampai Yerusalem dua bulan lagi,” katanya mencoba memberi bayangan kesulitan. “Apakah orang tua kalian tidak keberatan?”
Ezar mengangguk merasa terwakili. Pertanyaan yang tak mungkin ia lontarkan sendiri, terutama kepada Kayla.
“Ayahku sudah merelakan kepergianku,” jawab Amira. “Ia belum terlalu tua, selain Almiron sudah bisa menjaga dirinya. Adikku bahkan punya tabungan yang lebih banyak dari punyaku,” ucap Amira dengan tatapan mengawang sebagai ciri sedang merindu.
“Bagaimana denganmu, Kayla?” tanya Sarjas. Ia tak bisa melihat jelas wajah Kayla dalam kegelapan, tapi Sarjas bisa melihatnya menggeleng.
“Ayah dan ibuku tidak khawatir karena pamanku tinggal di Yerusalem,” jawabnya. “Ayahku bahkan menitip surat untuk adiknya di sana.”
Sarjas dan Ezar mengangguk. Harapan mereka untuk membawa pulang Amira dan Kayla sepertinya baru akan terwujud saat perjalanan Masiah berakhir.
“Bagaimana dengan kalian?” Amira balik bertanya.
“Iya,” timbrung Kayla. “Bukankah kalian berbisnis kayu dengan Romawi?”
Sarjas mengangguk, walau tak mengira akan ada pertanyaan balasan. “Iya,” jawabnya. “Kami sudah melimpahkan kepada anak buah kami di desa,” jawabnya. Kata ‘anak buah’ sengaja Sarjas pilih untuk memberi kesan sukses di hadapan Amira. Ezar memastikan Kayla melihatnya mengangguk.
Istirahat perjalanan mereka berakhir ketika Orjan kembali melintas meneriakan arahan sambil memacu kudanya. “Perjalanan berlanjut, ya orang-orang Israil! Perjalanan berlanjut, ya orang-orang Israil!”
Teriakan itu membuat orang-orang berdiri. Beberapa yang sempat menyisi kembali ke barisan. Semua perbekalan yang sempat mereka keluarkan dari tas atau turunkan dari tunggangan kembali dimasukan ke tempat semula. Obor-obor di barisan depan yang sempat dimatikan dalam rangka penghematan minyak, kembali dinyalakan. Lambat laun orang-orang di depan kembali berjalan.