Iring-iringan para pengikut Masiah sudah menempuh 25 kilometer ke arah Efraim saat sore hampir tiba. Tiga kilometer sebelum gerbang kota, ribuan orang itu berhenti atas arahan Orjan yang meneriakan kabar singgah di hamparan tanah yang dihimpit dua bukit.
“Kita singgah di sini! Silakan buat perapian dan dirikan tenda!”
Sarjas bisa mendengar beberapa orang mengeluh saat Orjan hendak kembali ke barisan depan. Kemudian salah satu dari kelompok yang sedang berteduh di pepohonan meneriaki Orjan yang hendak melintas.
“Kenapa kita tidak berhenti di dekat gerbang kota?”
Teriakan itu membuat Orjan menghentikan laju kudanya, mencari asal suara.
Suara dari arah yang sama terdengar lagi. “Kami sudah kehabisan bekal! Lanjut saja sampai Efraim!”
Orjan berhasil menemukan sumber suara dan menatap ke arah sana. Ia lalu berkata, “Kota-kota di sekitar sini berbahanya!” teriak Orjan agar sebanyak mungkin orang mendengar. “Mereka belum tentu bisa menerima kita!”
“Setidaknya bawakan kamu sayuran!” kata suara dari sisi lain.
“Buah-buahan!” teriak suara dari belakang Orjan.
Sarjas hampir-hampir berteriak ‘Arak!’, namun ia keburu ingat, karenanya hanya berbisik pada Eza yang lalu tertawa. Sarjas tidak tahu seserius apa para peneriak Orjan itu atas keinginan mereka. Tapi Sarjas juga berpikir, seharusnya persinggahan selanjutnya di dalam atau di dekat kota. Tapi alasan Orjan juha masuk akal. Rasa khawatirnya bahkan membesar. Kekhawatiran yang perkiraan akan terjadi, cepat atau lambat. Masiah terlalu banyak musuh meski tidak memerangi pihak manapun.
Orjan tidak menanggapi permintaan-permintaan itu, mala lalu berteriak, “Ada dua sumur di arah selatan! Jangan sampai sindiran terlalu jauh dari sini!” tegasnya lalu membalikan kudanya dan berlalu.
“Berapa banyak lagi bekal kita?” tanya Sarjas pada Ezar.
“Daging domba kering tinggal dua potong,” jawab Ezar. “Aku punya sekantung kurma kalau kamu mau.”
Sarjas menggeleng. “Sepertinya mendatangi Efraim akan seru. Pasti ada yang jual arak di sana,” ucap Sarjas.
Ezar tampak berpikir. “Sekalian ambil air untuk mereka, yah,” ujarnya setelah melirik dulu ke arah pujaan hatinya yang sedang mengulur gulungan kain tenda dari atas tas punggungnya. Ia juga melihat Amira membawa ranting-ranting kering dan melemparkannya menumpuk.
“Iya,” ucap Sarjas mengangguk. “Pulangnya kita ke sumur dulu.”
Sarjas dan Ezar pun berjalan mendekati Amira dan Kayla. “Ayo coba bicara!”kata Sarjas menyenggol bahu Ezar saat di hadapan Kayla. Ezar malam menatap Sarjas yang menggeleng tak percaya.
“Kami mau ke sumur dulu,” ucap Sarjas memperlihatkan tas kulit wadah airnya.
“Oh, iya, kami nitip,” sahut Amira lalu mengambil tas airnya dan milik Kayla. Sarjas mengangguk lalu berjalan ke aarah selatan melewati kerumunan orang dan kelompok-kelompok perapian. Sarjas bisa melihat Orjan di samping kuda yang ia tunggangi sebelumnya, sedang menghadap ke salah satu murid Masiah yang berdampingan dengan murid-murid lainnya. Mereka tampak bersiap-siap dengan bawaan masing-masing. Memanggul dan menyelempangkan tas, membagikan gulungan-gulungan perkamen, dan memasukkannya ke dalam tas. Saat Sarjas dan Ezar melewati kumpulan para murid itu, Sarjas sempat melihat dari antara celah berdiri murid-murid Masiah, sosok guru mereka yang sedang duduk di peti kayu. Ezar juga melihat itu sekilas.
“Jangan kalian menyimpang ke jalan bangsa lain atau masuk ke kota-kota di Samaria! Sampaikan ini hanya kepada orang-orang Israil!”
Sarjas dan Ezar bisa mendengar para murid itu itu berkata, “Baik, Guru!” sementara keduanya menjauhi kerumunan di sekitarnya. Saat keduanya sudah melihat sumur umum di samping lahan perkebunan dengan persimpangan jalan setapak, Sarjas melihat seorang penunggang kuda melaju ke arah barat, sementara penunggang kuda lainnya mengambil jalan ke utara. Sarjas menoleh ke belakang. Pria-pria yang tadi bersiap-siap untuk pergi itu sudah berpencar ke berbagai arah. Beberapa lainnya berjalan ke arah yang sama dengan dirinya dan Ezar. Sarjas agak merasa bahwa salah satunya adalah Masiah.
Sarjas dan Ezar berpapasan dengan dua orang yang baru saja mengambil air dari sumur, sementara ada sembilan orang lain yang masih mengantri menimba. Sarjas masuk ke dalam barisan antrian.
“Lah, bukannya nanti saja pulangnya?” ucap Ezar heran karena tak sesuai rencana. Sarjas memberi isyarat dengan gerak kepala. Ezar menoleh namun Sarjas buru-buru menariknya untuk ikut ke barisan. Walau sekilas, Ezar paham yang Sarjas maksud. Lalu orang-orang di sekitar sumur pun mengucap salam pada Masiah dan tujuh pria yang mendampinginya. Sarjas dan Ezar ingat dua di antara pria itu adalah dua penunggang kuda yang sore kemarin datang menyusul rombongan. Andariyas dan Falifi. Sarjas sempat melihat senyum dan anggukan Masiah saat menjawab salam dari para pengantri sumur, meski hanya bagian samping wajahnya.
Setelah kelompok Masiah tak terlihat yang kelokan jalan Sarjas keluar dari antrian.
“Tidak isi dulu?” tanya Ezar merasa terlanjur mengantri.