Sarjas terbangun karena suara langkah kaki yang menginjak semak-semak dan ranting di tanah. Suara lebih tegas kemudian membangunkan Ezar pula. “Apa kalian pencuri?” tanya suara pria yang membuat Sarjas dan Ezar menoleh ke arahnya. Pria berjubah abu-abu itu memanggul keranjang.
“Bukan,” jawab Sarjas. “Tentu saja bukan!” tambahnya setelah lebih terjaga. Ia melihat dulu ke sekitar, menjadi tahu keadaan kebun jeruk tempat mereka beristirahat, lalu melihat ke arah matahari yang sudah cukup tinggi, menjadi tahu bahwa mereka hampir melewatkan pagi.
“Kami hanya menumpang tidur,” sahut Sarjas. “Maaf,” tambahnya lalu duduk sementara Sarjas langsung berdiri.
“Kenapa kalian tidak bersama mereka?” tanya pria itu menunjuk dengan wajahnya ke arah rombongan di kejauhan.
“Euh, kami datang belakangan saat malam,” jawab Sarjas. “Kami tidak ingin mengagetkan mereka,” sambungnya.
“Apa paman dari kota?” tanya Ezar mengalihkan. “Pemilik kebun ini?”
Pria itu lalu memetik jeruk dari pohon yang ada di sampingnya. “Ya dan tidak,” jawabnya. “Aku hanya pekerja. Kebun ini milik Rabi Posan. Dia bisa melaporkan kalian ke tentara Romawi jika tahu kalian ada di sini.”
“Ah, kami tidak mencuri, saudaraku,” ujar Sarjas lalu mengambil tasnya. Ezar mengambil juga tasnya dengan cepat lalu memanggulnya.
“Boleh kami beli jeruknya?” ujar Sarjas setelah mengeluarkan koin dari saku jubahya. Pria itu melihat ke arah koin perak di tangan Sarjas. Ia lalu melihat sekitar kemudian mengambilnya. Setelah menyakukan koin itu ia memberi empat jeruk dari keranjangnya.
“Cuma segini?” tanya Sarjas. “Mahal sekali! Di pasar tidak semahal ini!” protesnya.
Pria itu tidak menghiraukan dan lanjut memetik jeruk dari pohon terdekat dengan Sarjas.
“Apa kamu mendengar kabar Masiah?” tanya Ezar saat Sarjas sudah melangkah lebih dulu.
Pria itu memasukan dulu dua jeruk pada keranjang lalu menjawab dengan malas-malasan. “Tentara Romawi melepasnya,” jawab pria itu.
Ezar mengerutkan kening. Ada rasa bahagia namun juga penasaran. “Kenapa dilepas?”
Pria itu terus memetik jeruk di dahan yang lebih tinggi dengan berjinjit. “Sepertinya tentara Romawi lebih takut kerusuhan dibanding para rabi,” jawabnya malas-malasan.
Ezar mengangguk lalu berjalan meninggalkan pemetik jeruk itu. Ia menyusul langkah Sarjas. Keduanya berjalan ke arah sumur semalam dari arah berbeda. Mereka berhenti dua ratus meter dari sana, di bawah naungan pepohonan yang bukan lagi pohon jeruk. Mereka melihat lalu-lalang banyak orang dari kejauhan, baik yang menjauh maupun yang menuju gerbang kota, baik yang berjalan kaki, menunggang keledai, maupun berkereta kuda.