Pagi ini Ezar bangun lebih dulu, ketika seekor anjing liar mengagetkannya sampai terperanjat. Ezar sadar anjing itu mengincar bungkus daun berisi daging ayam yang sempat ia beli di pasar kota Emmaus sehari sebelumnya. Bungkus daun yang semalam ia letakan di samping tempatnya berbaring. Ezar melempar sepotong tulang sisa pada anjing itu yang kemudian mengunyahnya dengan cepat. Setelah melihat bayangnya pepohonan di sekitarnya, ia sadar bahwa waktu sudah hampir siang. Ezar bangkit lalu membereskan kain yang ia jadikan alas dan selimut sekaligus. Melipatnya lalu memasukan ke dalam tas punggung. Ezar bergerak membangunkan Sarjas, yang justru membuat anjing di dekatnya pergi menjauh dan terus berlalu menuju kelompok perapian paling belakang dari rombongan Masiah.
“Sarjas! Bangun!” seru Ezar. “Hey! Sudah terang!”
Sarjas terdengar meracau dan mengeluh meminta waktu tambahan. Ezar meninggalkannya, berjalan ke arah gundukan tanah untuk bisa menatap jauh ke depan barisan perapian. Sambil kencing ia memantau, Belum ada pergerakan. Rombongan Masiah masih singgah. Ezar ingat ini adalah singgah terlama yang sempat ia alami. Selain dimulai sejak siang, juga karena belum bergerak lagi sampai pagi ini. Padahal ia sudah tidak sabar ingin kembali memasuki kota. Makanannya sudah habis.
Ezar kembali membangunkan Sarjas saat melihat penunggang kuda mendekat. “Hey, ada penunggang kuda!”
Kali ini Sarjas langsung terperanjat. Ia berguling lalu menatap ke depan sambil telungkup kemudian bangun pelan-pelan. Penunggang kuda yang Ezar maksud bukan penunggang kuda yang ia kira. Bukan yang baru saja masuk ke dalam mimpinya. Penunggang kuda itu semakin mendekati posisi mereka berdua. Melewati kelompok perapian dan tenda-tenda terakhir. Sarjas berjalan mendekati jalan setapak yang akan penunggang itu lewati. Ia dan penunggang itu bertatapan bersamaan dengan berkurangnya kecepatan lari kuda yang menimbulkan jejak-jejak debu di udara.
“Apa yang kalian lakukan di sini?” tanya penunggang kuda itu. “Apa kalian rombongan Masiah?”
Sarjas mengangguk. “Tentu saja,” ujar Sarjas. “Kami hanya terlambat dari membeli bekal kemarin, jadi kami tidur di sini.”
Ezar langsung menghilangkan rasa penasarannya dengan bertanya, “Kenapa belum melanjutkan perjalanan juga? Apa ada ancaman di depan sana?”
Penunggang kuda itu sempat menoleh ke belakang. “Masiah belum memberi perintah untuk masuk ke Yerusalem,” jawabnya. “Ia mengutus dulu murid-muridnya ke berbagai tempat.”
“Biasanya tidak selama ini,” ujar Ezar.
Penunggang kuda itu mengangguk. “Karena biasanya tidak sebanyak ini,” jawabnya. “Ini tebaran murid terbanyak. Entah apa yang jadi pertimbangan Masiah, yang pasti sebenarnya kita akan masuk Yerusalem lebih cepat dari rencana sebelumnya.”
“Memang rencana sebelumnya kapan?”
“Tadinya setelah masuk dulu Jeriho dan Lyda.”
“Apa karena ancaman di sana?” tanya Sarjas.
“Mungkin saja,” jawab penunggang itu. “Tapi Yerusalem akan menyambut kita, begitu kabarnya.”
“Kabar dari siapa?” tanya Sarjas penasaran.
“Aku dapat dari guruku, Yahuza Askariyat.”
Ezar mengerutkan kening, masih penasaran. “Lalu dari mana gurumu mendapatkan kabar itu?”
Penunggang itu mengangkat bahu. “Masiah, atau mungkin mata-matanya.”
“Siapa mata-mata Masiah?” tanya Sarjas.
“Tentu saja itu rahasia,”
“Apakah penunggang kuda putih berjubah hitam?” tanya Sarjas tegas.
“Oh, yah, mungkin dia, atau mungkin yang lain.”
Sarjas melihat ke arah rombongan, berharap dapat melihat Amira dari kejauhan. “Apakah kamu pernah melihat penunggang kuda putih bicara dengan Masiah?” tanyanya kemudian.
Penunggang kuda di depan Sarjas menggeleng.
“Berdekatan dengan Masiah?” tanya Sarjas lagi. Penunggang kuda di depannya tampak mengingat-ngingat dulu, tapi kemudian menggeleng lagi.
“Apa kamu kenal Kayla? Amira?” tanya Ezar tiba-tiba dalam jeda.
Penunggang kuda menggeleng. “Tapi para wanita baik-baik saja,” jawabnya kemudian. “Masiah sudah memerintahkan mereka untuk menemani beberapa murid untuk mengajar di kota-kota lain.”
“Tunggu!” sergah Ezar. “Apa maksudmu?”
Penunggang kuda menjeda dulu lalu melanjutkan, “Iya, mereka diperintahkan untuk berpencar, terutama yang belum menikah. Ada juga yang dinikahkan oleh Masiah.”
“Hei, hei, tunggu!” seru Sarjas. “Kamu bicara apa?”
“Bicara apa bagaimana?” kata penunggang kuda.
“Kenapa ada nikah segala?” tanya Sarjas.
Penunggang kuda malah menatap Sarjas dan Ezar dengan cepat sambil merautkan keheranan. “Ya menikah. Memang begitu,” jawabnya. “Memang begitu rencana Masiah menyebar ajarannya. Masiah harus memastikan ajarannya terus ada, kan? Pengajaran Masiah bukan soal saat ini saja. Ini soal masa depan orang-orang Israil. Beliau sudah mengelilingi seluruh negeri orang-orang Israil, mulai dari Galilea sampai sekarang di Yudea. Kalian pikir ajarannya akan hilang begitu saja?”
Sarjas tampak gusar sebagaimana juga Ezar. Keduanya tampak berpikir masing-masing. “Lalu kemana kamu akan pergi?” tanya Sarjas.
“Arimatia,” jawabnya. “Aku kebagian menyebar Injil di sana. Masiah memerintahkanku tinggal dan menikah di sana.”
Sarjas terperangah mendengar jawaban itu. “Tinggal dan menikah di sana?”
Penunggang kuda mengangguk. “Aku berharap bisa terus bersama Masiah, tapi ini perintah. Kemarin juga sudah ada beberapa muridnya yang beliau perintahkan untuk tinggal di Jeriho.”
Sarjas menghela napas. Ia baru menyadari betapa besar dan rapinya pengajaran Masiah, sampai-sampai bisa membuat banyak orang memilih langkah-langkah besar dalam hidup mereka. Dan itu yang membuat Sarjas khawatir terhadap masa depan yang ia harapkan bersama Amira. Kekhawatiran yang membuatnya merasa harus mengambil keputusan cepat.
“Aku harus melanjutkan perjalanan,” ujar penunggang kuda di hadapannya. Sarjas ingin menahan orang itu, tapi terlalu banyak pertanyaan yang membuatnya malah bingung, karenanya ia malah mengangguk.
“Terima kasih, saudaraku,” ucap Sarjas..
“Shalom alaehem,” ujar penunggang kuda lalu memacu kudanya kembali melaju.
“Alaehem shalom,” jawab Sarjas lalu menyaksikan kuda di hadapannya berlari semakin cepat. Di sampingnya, Ezar langsung membereskan tas minum dan mengambil tas panggulnya. Sarjas bergegas melakukan hal yang sama.
“Jadi bagaimana sekarang?” tanya Ezar menghadap ke arah Sarjas dengan raut gemas. Ia penyalahan pada Sarjas yang ia rasakan.