Ezar mendengar teriakan Orjan yang menunggangi kuda hitam yang terlihat kekar. Lajunya tidak cepat namun suaranya kuat. “Kita akan masuk Yerusalem sebelum sore!” teriaknya sampai ke kelompok perapian paling belakang kemudian balik lagi. Ezar merasa lega ada yang bisa ia dengar di antara canggung yang ia rasa karena hanya duduk sendirian di bawah pohon aras. Ezar melihat ke arah tenda. Ia tahu Kayla akan keluar dari sana sebentar lagi, dan terjadi dengan Amira yang muncul lebih dulu, kemudian Kayla, dan wanita tua bersama anaknya. Mereka baru selesai tidur siang yang sempat pula Ezar lakukan karena semilir angin yang sepoi-sepoi.
Ezar bangun, berjalan mendekati tenda sambil menjinjing tas punggungnya, karena tahu perjalanan belum akan dimulai. Ia baru akan membuat dirinya bermanfaat di mata Kayla, karenanya ia mulai melepas tali tenda dari kayu pancangnya, sementara Amira dan Kayla memasukan kain dan peralatan masak ke dalam tas dan karung bertali. Tatapan Ezar sering tertuju pada Kayla. Tekadnya belum tersampaikan karena ketiadaan kesempatan. Karenanya ia menunggu-nunggu itu dengan pendekatan. Saat kesempatan itu muncul, Ezar berusaha menghilangkan kebingungannya untuk memulai kata.
Saat itu ada ketika Amira membawa tas dan karung ke arah tenda para pria yang menjadi teman seperjalanan mereka sejak awal. Ezar menatap Kayla yang sedang berjongkok untuk memasukan sebilah pisau ke dalam pelindung kulitnya. Ia selesai melipat kain tenda lalu berjalan ke arahnya.
“Biar aku bawakan tasmu, Kayla,” ujar Ezar. Kayla menoleh ke arahnya.
“Tidak usah, terima kasih,” sahut Kayla. “Kamu sudah bawa banyak tas,” tambahnya.
Ezar menggeleng lalu berkata, “Ah, tidak apa-apa,” ujar Ezar mendekat lalu mengulurkan tangannya.
Uluran tangan itu membuat Kayla mendongak. Sekarang Kayla yang menggeleng. “Tidak usah, Ezar, aku tidak keberatan,” ujar Kayla.
Ezar menarik kembali tangannya lalu mengangguk dengan bibir mengatup. Ia pun berjalan kembali ke arah lipatan kain tenda lalu mengikatnya pada bagian atas tas punggung. Sarjas lalu mengangguk tas itu. Amira sudah datang kembali bersama kelompok perapian lain yang sudah siap berjalan. Orang-orang di depan juga sudah berjalan. Murid-murid Masiah juga demikian. Kelompok-kelompok di belakang juga mulai berjalan hampir menyusul mereka. Ezar mulai melangkah ketika Kayla sudah melangkah, namun sempat melihat ke empat kelompok yang malah berjalan ke arah berlawanan. Ezar berjalan mendekati dulu seorang pria yang baru saja memadamkan api perapiannya.
“Maaf, paman, mereka mau kemana?” tanya Ezar membuat pria itu menoleh ke arah yang Ezar maksud lalu menatap wajah Ezar.
“Kamu tidak ikut pengajaran Masiah sebelumnya?” tanya pria itu keheranan.
Ezar menggeleng. “Kami sedang ke kota waktu pengajaran itu,” jawabnya.
Pria itu mengangguk maklum. “Sebagian kembali, sebagian ke kota-kota yang Masiah perintahkan,” jawabnya lalu mengambil selimut dan melipatnya.
“Maksudnya?” tanya Ezar penasaran.
“Masiah melarang sebagian orang untuk ikut ke Yerusalem. Dia memerintahkan orang-orang untuk mulai menyampaikan pengajarannya mulai dari sekarang. Aku dan keluargaku juga akan kembali ke Arimatea.”