Para Pengganti

Agung Satriawan
Chapter #21

Pemabuk

Sarjas melihat titik-titik perapian dari beberapa tenda dari jendela kamarnya. Ia duduk sambil meminum araknya sesekali. Sudah empat malam ia melakukan hal yang sama. Masih menimbang-nimbang apakah ia perlu mencari Ezar, Amira, dan Kayla di sana. Sarjas tahu bahwa mencari ketiganya tidak akan sesulit menemukan Amira dan Kayla seperti saat singgah di perjalanan. Sekarang rombongan Masiah sudah berkurang lebih dari setengahnya. Tapi bukan kesulitan itu yang membuat Sarjas ragu bertemu, melainkan kabar dari Amira yang membuatnya kini sangat mengkhawatirkan perasaan sahabatnya, selain merasa enggan jika harus bertemu Kayla, terutama jika ada juga Amira di sana.

Sarjas meneguk lagi araknya sekali. Kepalanya sudah mulai merasa berat walau masih waras. Sarjas bisa mendengar keriuhan di kedai seberang, yang lebih terdengar dari kedai di lantai dasar. Suara musik. Suara tawa. Lalu suara serak pria-pria di bawah yang penampakannya terhalang namun suaranya lantang. Cukup lantang untuk bis Sarjas dengar untuk mengisi waktu.

“Apa perlu kita bertaruh?” kata suara pertama.

Dua suara lain terdengar menanggapi dengan tawa terbahak-bahak.

“Aku bertaruh untuk tenara Romawi!”

“Aku pegang prajurit Yudea yang akan menangkapnya!”

Lalu mereka tertawa bersama lagi. “Aku bertaruh Kayafas sendiri yang akan menangkap Masiah!”

Sarjas sudah merasakan kengerian sejak awal mendengar kata ‘menangkapnya’, dan menjadi yakin setelah kata Masiah terucap pula. Sarjas menghela napas. Ia mulai merasakan bahwa ancaman yang ia khawatirkan akan segera terjadi. Benaknya bertanya-tanya, apakah Masiah menyadari hal ini? Apakah murid-muridnya tahu? Apakah Ezar juga sadar? Apakah Amira bisa mengira? Apakah Kayla benar-benar mencintainya? Yang terakhir itu muncul tiba-tiba setelah ia memikirkan Amira. Lalu ia teringat bahwa yang mesti ia tahu dulu adalah keberadaan Ezar, Amira, dan Kayla. Ia sangat berharap ketiganya tidak termasuk yang masuk ke kota ini.

Sarjas pun berdiri. Ia sudah memutuskan. Ia keluar dari kamar, menyusuri lorong, lalu menuruni tangga menuju kedai. Seorang perempuan baru saja keluar dari salah satu kamar di lantai dua.

“Hai,” katanya dengan jalan sempoyongan. Sarjas menoleh. Perempuan itu tersenyum lalu melanjutkan sapaannya. “Aku lihat kamu sendiri dari kemarin. Mau ditemani?”

Sarjas tersenyum lalu menggeleng. “Tidak, terima kasih,” ucapnya lalu lanjut turun menapaki anak tangga. Perempuan itu cemberut kecewa dan lanjut berjalan menuju tangga pula.

“Ah, payah!” ketusnya.

Sarjas tidak peduli dengan ucapan itu. Melihat dulu keadaan kedai di lantai dasar ini. Keriuhannya sekarang mengalahkan kedai di seberang. Lampu minyak di dinding dan lilin di tiap meja yang menjadi penerangan menunjukan suasana seperti pesta. Para pria menyantap daging babi, minum anggur, memangku perempuan berpakaian terbuka sambil tertawa-tawa. Sebagian lagi berdansa seiring tabuhan rebana dan dawai. Rebana yang serupa dengan yang orang-orang gunakan saat menyambut Masiah dua hari lalu. 

Sarjas keluar melalui pintu dan menuruni tangga dengan cepat. Ia berusaha mencari penampakan tiga pria mabuk yang ia dengar suaranya dari jendela kamarnya di atas. Saat Sarjas melihat utara, tiga orang itu baru saja berbelok ke arah gang dengan suara tawa yang masih tersisa untuk Sarjas jadikan petunjuk. Sarjas berlari ke arah itu. Ia berbelok ke gang yang sama. Larinya berhenti menjadi jalan saat sudah sepuluh meter di belakang ketiga pria itu, di antara rumah-rumah yang ada di sana. 

“Hai, kawan!” sapa Sarjas. Suaranya ia buat-buat seolah sedang mabuk. Jalannya ia buat-buat sempoyongan. Ketiga pria itu menoleh dan berhenti. Ternyata tiga pria itu jauh lebih tua darinya. Sarjas melanjutkan usahanya dengan berkata, “Apakah kaliah tahu di mana aku bisa bertemu dengan Masiah?”

Tiga orang di depan Sarjas tertawa. Salah satunya sambil menunjuk Sarjas dan menertawainya sampai membungkuk memegang perut. “Lihat! Pengikut Masiah juga mabuk!” katanya lalu disambut tawa bersama. 

Sarjas juga ikut tertawa sebagai usaha melebur. “Paman ini bisa saja,” ujar Sarjas. “Aku ingin bertemu dia untuk menawarkannya pelacur,” ujar Sarjas sekenanya, karena baru bertemu perempuan saat menuruni tangga barusan.

Tiga pria itu tertawa lagi. “Kamu gila, ya?” kata pria di tengah dengan jubah yang melorot bagian kerahnya. 

Sarjas berlaga tertawa.“Tidak paman, aku tidak gila,” ucapnya menebalkan pura-pura mabuknya. “Aku hanya mabuk. Dan karena aku tahu mungkin hidup Masiah tak lama lagi, kan?” katanya memancing ocehan-ocehan. Tapi ketiganya kembali berjalan setelah membalik tubuhnya masih sambil tertawa. Sarjas juga ikut melangkah.

Setelah menertawakan ucapan Sarjas salah satunya kembali berkata, “Tentu saja ini saat-saat terakhirnya. Para rabi ingin dia mati, imam besar ingin dia mati, para pemilik kedai anggur dan rumah pelacuran ingin dia mati,” racau orang itu sambil terus melangkah. “Apalagi dia sudah berani masuk ke Bait Suci dan berceramah di sana. Habislah dia!”

“Kayafas akan mengadilinya besok! Majelis rabi pasti akan menghukum mati dirinya!” ucap pria pertama, lalu membalik tubuh ke arah Sarjas. “Kamu mau ikut bertaruh siapa yang akan menangkapnya lebih dulu?” membuat dia dan dua temanya kembali tertawa.

Sarjas ikut tertawa dulu baru kemudian bertanya, “Dari mana kalian tahu Masiah akan ditangkap?” ucap Sarjas yang ternyata membuat ketiganya tertawa semakin keras.

Pria pertama lalu menunjuk ke samping dan berkata, “Karena dia prajurit Yudea, bodoh!” serunya lalu tertawa lagi. 

“Yah! Aku dan teman-temanku tak akan kalah dengan tentara Romawi!” teriak pria yang ternyata prajurit itu. “Aku bertaruh untuk diriku sendiri! Aku akan membawa Masiah itu kehadapan Pilatus!” ocehnya nyaring.

Degub jantung Sarjas lalu menjadi cepat seketika. Satu-satunya yang bisa diandalkan dari orang mabuk adalah membocorkan rahasia. 

“Eh, tapi dia bisa menyembuhkan kusta!” racau pria ketiga. “Itu luar biasa, sih!”

“Ah, tipuan!” sergah pertama. “Itu cuma bohong! Keajaiban apanya!” ucap pria ketiga lalu tertawa.

“Benar, kok! Salah satunya tetangga adikku!” ujarnya membentak.

“Bodoh! Kalau kamu percaya kenapa tidak jadi pengikutnya sana!” kata pria pertama sambil mengayunkan tangan ke arah kepala. Pukulan ini lalu menghentikan tawa mereka. Pukulan balasan tiba-tiba melayang.

“Dasar brengsek!” ucap pria yang dipukul pertama kali. “Kepalaku ini lebih berharga dari kepalamu!” serunya sambil melayangkan pukulan-pukulan berikutnya. Temannya yang prajurit Yudea berusaha memisahkan keduanya, dan malah ikut terpukul. Sarjas tahu itu saatnya ia berjalan menyusul ketiganya. Membiarkan ketiganya terlibat perkelahian akibat pengaruh anggur. Beberapa pemilik rumah keluar untuk melihat keributan itu. Salah satu wanita membawa keluar ember lalu mengguyur ketiga pemabuk itu sebelum Sarjas berbelok ke arah gang, meninggalkan suara umpatan yang terdengar samar.

Lihat selengkapnya