Sarjas membuka matanya perlahan, menebak-nebak dulu sedang berbaring di mana, lalu terperanjat, bangun dengan cepat sampai membuat kepalanya terbentur. Ia mengaduh dan mengusap-ngusap kepalanya sambil meringis menahan nyeri. Sarjas terperanjat karena ingat bahwa seharusnya ia sedang mencari keberadaan Ezar dengan mengikuti sosok penunggang kuda putih tadi. Sarjas tak ingat sudah berapa lama ia terlelap, yang pasti ia sudah di sini sejak gelap. Karenanya ia segera keluar dari kolong meja, bangkit, dan berlari keluar dari rumah besar yang ia datangi semalam. Ternyata langit sudah terang. Matahari sudah meninggi. Sarjas merasa sudah sangat terlambat sekali. Ia menatap tanah yang ia pijak. Di depannya ada jejak kaki kuda yang mengarah ke arah ia datang semalam. Sarjas teringat ucapan penunggang kuda putih semalam, tentang dia yang harus mengikutinya jika ingin menggantikan Ezar yang Sarjas pikir tengah disekap olehnya. Ia pun mulai melangkah, berniat kembali ke perkemahan di tanah lapang dekat gerbang selatan.
Sampai di jalan setapak berbatu, Sarjas melihat jejak kaki kuda sudah memudar. Ia baru akan maklum jika jejak itu tidak terlihat lagi, karena jalanan sudah bukan tanah atau pun pasir. Tapi jejak itu tetap terlihat olehnya. Walau samar, Sarjas bisa melihatnya berurutan dan terus ada, layaknya jejak kaki kuda yang menjadi tanda arah lajunya. Sarjas terus mengikuti jejak itu. Arahnya hampir sama dengan rute yang ia lalui bersama Amira tadi malam, tapi berbelok ke jalan utama yang terdapat pemukiman di sebelah kiri dan kebun anggur di sisi kanannya. Seorang wanita yang sedang menebar pakan untuk ayam-ayam yang ada di halamannya melihat kedatangan Sarjas dengan raut khawatir.
“Tuan,” sapanya lalu meneliti wajah Sarjas dengan tatapan. “Apakah tuan Masiah yang kemarin berceramah di dekat kebun anggur?” tanya wanita itu.
Sarjas melangkah dengan resah lalu memutuskan untuk menggeleng. “Bukan, bibi,” ujarnya tanpa berhenti. Ia kembali melihat ke bawah, mengikuti jejak kaki kuda yang seperti bekas lumpur.
“Berhati-hatilah, tuan,” ucapnya masih menatap Sarjas sampai Sarjas menjauh. Ia sempat mengangguk menghargai perhatian itu. Ucapan itu membuat Sarjas merasa semakin harus mempercepat langkahnya. Di persimpangan ia berbelok sebagaimana jejak tapak kuda mengarah ke arah gang dengan jajaran kedai anggur dan gudang kayu. Ia melihat tentara Romawi berpatroli di depannya, karena itu memutuskan untuk berbelok dan berputar menjauhi. Ia membedakan dulu langkahnya dengan jejak tapak kaki kuda sampai melihatnya lagi setelah mengitari beberapa rumah. Setelah bertemu lagi dengan jalan utama ia mendekati dulu tanah lapang perkemahan semalam. Sarjas tidak melihat lagi tenda-tenda terpasang di sana. Hanya tersisa sisa-sisa perapaian yang telah padam di banyak titik. Sarjas tetap melangkah memasuki tanah lapang itu melalui celah dua pohon palem yang terdekat dengannya.
Di tengah lapang itu ia berteriak, sekeras ia berteriak tadi malam.
“AMIRA!” “KAYLA!”
Sarjas sadar teriakan itu sudah cukup menarik perhatian orang-orang di sekitar dan mungkin akan terdengar oleh Amira atau Kayla, berharap keduanya menampakan diri karena teriakannya itu. Ia pun kembali menepi, melanjutkan langkahnya mengikuti jejak samar di jalan utama dan menuruninya ke arah selatan, melewati jajaran rumah-rumah kumuh yang saling berhadapan. Lalu jendela salah satunya terbuka memperdengarkan suara panggilan pada namanya.
“Sarjas!” kata suara itu seperti bisikan. Sarjas berhenti dan menoleh ke belakang. Amira menongolkan kepalanya lebih jauh melewati daun jendela. Bagian bawah kerudungnya sampai menjuntai ke bawah. Sarjas berjalan mendekati rumah itu. Lalu pintunya terbuka. Wanita tua pemilik rumah terlihat dengan Kayla sebagai latarnya, tersenyum ke arahnya. Sarjas hanya membalas senyum itu dengan anggukan.
Saat Sarjas baru masuk ke ruang tengah, Amira keluar dari kamar. “Aku sudah melihatmu sejak tadi,” ucapnya semangat.
“Di mana Ezar?” tanya Kayla. Pertanyaan yang juga mewakili Amira.
“Ezar tidak di sana. Tidak ada satu pun orang di sana,” jawab Sarjas.
“Bahkan Mesiah?” tanya Kayla merautkan khawatir.
Sarjas mengangguk. “Bahkan Masiah,” jawabnya. “Aku yakin mereka sedang mencoba melarikan diri.”
Amira mengangguk memahami kemungkinan itu. “Tentara Romawi dan prajurit Yudea berpatroli sejak pagi. Mereka menanyakan keberadaan Masiah dan murid-muridnya.”
“Mereka sudah bergerak,” ucap Sarjas resah.
Kayla mulai terisak. Wanita tua pemilik rumah lalu berucap, “Mereka menjaga semua gerbang kota,” ucapnya tak kalah resah.