Ezar tak bisa berjalan lebih cepat karena malam tak memberi terang dari bulan selain yang terhalang awan kelabu sejak tadi. Angin lembah menerpa wajah Ezar yang merasakan dingin yang lebih dari biasanya. Semakin dingin ketika langkahnya semakin dekat dengan Taman Getsamani. Ia sudah merasa aman, karenanya menurunkan dulu tudung jubahnya, lalu melangkah masuk ke gerbang taman. Ia melangkah perlahan sambil memasang pendengarannya dengan siaga. Mencoba menangkap suara-suara lain selain suara serangga dan kepak sayap kelelawar yang menyentuh pepohonan di sekitar. Ezar melangkah mendekati jembatan yang ia lihat menyambung jalan batu dengan hamparan rumput di seberangnya. Saat menapaki jembatan batu itulah Ezar melihat seekor kuda putih yang di dekat pohon rindang yang menaunginya. Penunggangnya tidak terlihat, namun langkah berikutnya membuatnya melihat seorang pria berjubah hitam yang berdiri membelakanginya. Ezar langsung menebak bahwa pria di depannya adalah dia yang disebut Matatias sebagai Penjaga Masiah.
Pria itu tetap menghadap ke depan meski Ezar yakin pria itu sudah menyadari kedatangannya. Ezar urung menyapa karena pemandangan di hamparan tanah di bawah sana memberinya pemandangan samar namun nyata. Ada belasan orang yang beberapa di antaranya membawa empat obor. Cahaya obor yang membuat Ezar bisa melihat warna putih dari jubah mereka, dan warna merah dari jubah punggung yang mengait pada bagian pundak baju zirah mereka. Ezar sudah bisa menyimpulkan sosok orang-orang itu.
“Siapa di antara kalian Esha si Masiah?” tanya salah satu tentara Romawi di bawah sana. Ezar melangkah lagi hendak mendahului, tapi pria berjubah hitam merentangkan satu tangannya untuk mencegah Ezar berjalan lebih dekat ke arah kerumunan. Rentangan tangan yang membuat sibakannya menimbulkan sedikit terpaan angin yang membawa aroma minyak wangi yang dipakainya. Aroma yang membuat Ezar merasa mendapat ketenangan.
“Akulah yang kalian cari,” ucap salah satu yang berjubah putih, disusul suara bentakan yang tak bisa Ezar pastikan pengucapnya. Suara bentakan yang disusul perdebatan dari suara-suara lainnya, yang membuat Ezar gusar dan ingin bergerak melangkah. Kegusaran yang membuat Penjaga Masiah di depannya bersuara.
“Dia sudah menyerahkan diri,” ucapnya dengan suara berat.
Ezar langsung merasa lemas. Kesedihan langsung menyeruak dan menaungi benaknya. Rasa sesal langsung muncul dan menebal. Ia langsung mengutuk diri karena terlambat yang hanya beberapa saat. Ia berusaha sekuat tenaga untuk tetap bisa berdiri menyaksikan para tentara Romawi mengambil orang yang sangat ia cintai. Pedang dari prajurit Yudea yang mengarah ke arah murid-murid membuat kumpulan itu tidak melakukan perlawanan. Ezar merasa semakin pilu saat melihat tentara Romawi mengikat tangan Masiah lalu mendorongnya untuk berjalan. Ezar mulai meneteskan air mata. Ia ingin berlari dan melawan namun teringat pesan Orjan. Kalau kamu tidak berhasil, kamu harus merelakan.