Para Penjaga Malam Pesantren

Agung Satriawan
Chapter #1

HILANG

Sabtu pagi ini sangat cerah. Sorot matahari menerpa semua peserta upacara di Pesantren Al Mubarok. 60 santri semua tingkat, enam ustad, lima ustadzah, dan Kyai Said yang hampir selalu menjadi pembina. Tidak seperti sekolah umum, di Pesantren Al Mubarok, upacara bendera memang dilaksanakan setiap Sabtu pagi.

Tapi sorot sinar matahari terasa perih bagi Wendi. Dia selalu benci Sabtu pagi setelah ronda, karena harus langsung upacara. Jika tidak, setiap habis ronda ia selalu menyempatkan tidur setelah salat syuruk sampai sepuluh menit sebelum pelajaran pertama di mulai. Wendi yakin, Boy, teman rondanya tadi malam juga merasakan yang sama. Keduanya berdiri bersebelahan di jajaran paling belakang di antara santri tingkat dua lainnya.

Santri tingkat satu yang menjadi pemimpin upacara mengistirahatkan semua peserta upacara dengan teriakannya yang lantang.

"KEPADA, PESERTA UPACARA, ISTIRAHAT DI TEMPAAAT, GERAK!"

Wendi, Boy, dan semua santri bergerak kompak melebarkan kaki dan menyimpan kedua tangan mereka ke belakang. Sesuai yang diwarakan oleh pembaca protokol upacara, sekarang saatnya amanat pembina upacara.

Kyai Said sudah membetulkan posisi mikrofon lebih rendah agar sejajar dengan mulutnya. Pria 55 tahun itu mengetuk-ngetuk dulu mic, memastikan suaranya terdengar. "Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh," sapa Kyai Said dengan suara seraknya yang berat. Semua peserta upacara menjawab salam itu dengan kompak.

"Bismillah," lanjut Kyai said. "Walhamdulillah, wasalatu wasalamu ala rasulillah. Hadirin sidang upacara yang saya banggakan. Ini adalah hari terakhir para santri di pondok sebelum liburan setelah ujian. Seperti biasa, saya mengingatkan kepada para santri untuk menjaga nama baik pesatren, baik di perjalanan, maupun di tempat tinggal. Saya tak mau kesalahan kakak tingkat kalian dulu terjadi lagi. Melakukan kriminal di tempat tinggal. Amalkan apa yang sudah bisa kalian amalkan dari ilmu yang kalian dapatkan di sini. Jangan menunggu lulus baru merasa harus mengamalkan ilmu. Saya berharap..."

"TOLOOONG!" teriak seseorang dari belakang barisan santri tingkat dua. Teriakan itu menghentikan ucapan Kyai Said yang langsung mencari sumber suara yang ia kenal itu. Wendi dan sebagian besar santri lain menahan diri untuk menolah ke belakang karena adab tak berpaling dari kyai mereka yang sedang bicara. Sementara Boy dan beberapa santri lain spontan menoleh ke belakang, ke arah sumber suara yang sedang melangkah mendekati lapangan.

"KYAIIII!" teriak suara yang semakin mendekati barisan. Ketika Kyai Said turun dari podium, barulah semua santri berani menoleh ke sosok yang berterak itu. Mereka melihat Mang Umar, pegawai pesantren yang juga sepupu Kyai Said mendekati podium upacara dengan napas tersenggal-senggal.

"Domba, Kyai!" seru Mang Umar sebelum sampai di hadapan Kyai Said. "Domba hilang! Domba disembelih!" sambungnya seraya mencium tangan Kyai Said dengan cepat.

Lihat selengkapnya