Para Penjaga Malam Pesantren

Agung Satriawan
Chapter #3

UKIRAN

Senja, nama indie dari bakda asar, kini sangat jingga. Tak ada taklim setelah salat karena Kyai Said dan Ibu Nyai sudah berangkat. Para santri pada keluar bermain bola di lapangan luar pesantren yang gawangnya dari bambu, sementara santriwati bermain panahan. Arni adalah salah satu jagoan pondok dalam lomba panahan. Dari pinggir lapangan Adit melihat aksi Arni yang memberi pengajaran pada adik-adik kelasnya, baik yang tingkat satu atau tingkat dua. Ia memberi contoh kuda-kuda, sikap menarik busur, membidik, dan melepas anak panah dengan benar.

"Santri-santri kelas satu bilang, Teh Arni mirip Serin Sungkar, atau siapa lah gitu!" seru Ega membuyarkan lamuan Adit.

"Iya, karena jago panah katanya," sahut Adit lalu menghela napas.

Ega mengangguk. "Jadi, siapapun yang mau sama Teh Arni, harus lebih jago memanah, Dit," goda Ega lalu terkekeh.

Adit tak berpaling dari melihat Arni lalu berkata "Yang penting itu bisa memanah tepat ke hatinya," ujarnya lalu senyumnya mengembang. Ia tak sadar Ega menaikan bahunya sekali karena geli.

"Istigfar, Dit!" ujar Ega "Kayanya udah kelamaan kamu memandang yang masih haram," tambahnya dengan nada serius.

Adit terkesiap. "Astagfirullah," ujarnya tapi tak juga mau berpaling. Ia punya pembenaran bahwa pemandangan haram itu terlalu jauh untuk disalahgunakan dalam pikiran. Ia benar-benar menikmati keindahan Arni dengan sepaket berserta senja, lapangan, dan kegiatan panahannya.

Pandangan Adit baru berpaling ketika suara deru mobil terdengar dari jalan desa. Tiga mobil antri untuk berbelok ke jalan menuju pesantren. Sebuah pertanda bahwa sudah banyak orang-tua santri yang datang untuk menjemput putra-putrinya. Santri yang sudah siap lebih dulu, karenanya tidak ikut olah raga, berpamitan dari jauh pada kawan-kawannya.Beberapa masih menunggu jemputan. Beberapa sudah berjalan kaki menyusuri jalan desa, yang sebagiannya menuju pangkalan ojek, baik yang langsung ke rumah, maupun menuju terminal Majalengka. Beberapa ke arah utara, melewati belokan menuju terowongan kolong tol Cipali. Setelah magrib, semakin banyak mobil yang datang untuk menjemput.

Selepas isya, empat penjaga malam memandang rombongan terakhir santri yang keluar dari gerbang pesantren. Selalu ada syahdu yang menjadi bentuk halus dari kecemburuan mereka pada santri lain yang masih memiliki orang tua. Sebagai kelompok yatim-piatu, empat penjaga malam selalu menganggap liburan semester sekadar perpisahan dengan keramaian pondok, tanpa rencana perjumpaan dengan orang tua. Namun, mereka sadar, tanpa staus yatim-piatu yang mereka sandang, tidak ada kesempatan untuk mondok di pesantren Al Mubarok. Status merekalah yang membuat Kyai Said memberi mereka bea siswa untuk menimba ilmu agama.

Sejak magrib keempatnya sudah membawa kastrol, termos, senter, dengan setelan sarung dan baju koko. Setelan yang masih mereka kenakan hingga salat isya di masjid pondok yang dilanjut tadarus bersama. Selepas Isya, Adit menyempatkan diri mendekati rumah Kyai Said sekeluarnya dari masjid, yang membuat Wendi, Boy, dan Ega, menuggu dalam tanya.

"Teh, kami mulai berjaga, ya," ujar Adit ketika Arni keluar setelah menjawab salam dari Adit.

"Oh, iya, Dit," ujar Arni yang masih memakai mukena.

"Kalau ada apa-apa kabarin aja," tambah Adit. "Kalau Teteh teriak dari sini, kedengeran, kok dari pos jaga."

"Oh, iya." sahut Arni lagi.

Adit menganggauk pamit dengan sedikit senyum. Berjalan mendekati tiga temannya yang sudah senyum-senyum dan bergeleng di depan masjid.

"Bisa aja, pleboy cap badak!" celetuk Boy.

Adit terseyum lalu menggeleng sebagai bentuk bantahan. "Lah, emang salahnya di mana?" tanyanya sambil terus berjalan melewati lapangan. "Kan Teh Arni juga objek vital pesantren yang mesti kita jaga."

"Objek vital nggak tuh!" seru Ega sambil mulai berjalan mengikuti langkah Adit, sebagaimana Wendi dan Boy.

"Cuma ada kita berlima, dan itu termasuk Teh Arni. Jadi wajar kalau aku ngasih kabar dan arahan."

"Tapi apa itu satu-satunya motif?" ulik Wendi usil.

"Harus dianggap demikian," jawab Adit saat langkah mereka melewati gerbang utama pondok. "Adapun yang ada di dalam batin, biarkan tetap tersimpan."

Wendi, Boy, dan Ega, tertawa. "Emang siap bersaing sama kakak tingkat?"

Giliran Adit yang tertawa. "Kalau memang ngincer Teh Arni, ya harus siap," jawab Adit. "Justru moment ini yang paling pas bagi siapapun dari kita yang mengincar Teh Arni. Karena pesaing-pesaing kita lagi berjarak 300 kilometer lebih dari sini."

Lihat selengkapnya