Pondok. Begitu para santri dan warga sekitar menyebut pesantren mereka. Pesantren Al Mubarok berdiri sejak 1989. Pesantren seluas tiga hektar itu berada di pedalaman Majalengka, Jawa Barat. Gelar pesantren pedalaman baru pudar sejak Tol Cipali resmi beroperasi pada 2015, karena bisa terlihat jika pengendara mobil yang menuju Jakarta menoleh ke kiri di kilometer 155. Dari titik itu atap genting asrama pesantren terlihat di antara persawahan yang membentang di sekelilingnya.
Al Mubarok adalah pesantren setara SMA yang menerima santri Madrasah Tsanawiah atau siswa SMP yang diuji. Bangunannya bernuansa tradisional namun dengan kurikulum nasional sejak 2004. Ada dua asrama di sisi barat area pesantren untuk putra dan putri, yang masing-masing saling membelakangi dan terpisah oleh dua empang berisi ikan lele dan bawal. Di empang lele ada jamban jadul yang sering digunakan untuk BAB ketika toilet penuh antrian. Di samping empang lele terdapat empat petak kebun praktik yang ditanami cabai, bawang, kol, dan sawi. Dua jajar bangunan berisi tujuh sekat kamar mandi dan toilet yang berada di masing-masing ujung asrama.
Di tengah-tengah kawasan pesantren ada Masjid Al Mubarok yang menghadap ke lapangan yang digunakan untuk upacara dan olah raga. Di sisi utara ada rumah tinggal Kyai Said, sementara sisi selatan ada tiga bangunan bertingkat untuk santri kelas satu, dua, dan tiga, untuk tiap-tiap gender. Di sisi timur area berdiri ruang guru, aula, dan gudang.
Semua sudut area pesantren di bangun area untuk berbagai ternak. Di barat laut ada jajaran kendang ayam dan bebek. Di timur laut ada kendang domba. Di sudut tenggara ada kendang sapi. Sementara di barat daya terhampar kolam khusus lele. Di luar area pesantren yang dibatasi oleh pagar kayu dan tanaman rambat, terhampar sawah yang mengelilingi area pesantren milik keluarga Kyai Said yang digarap oleh warga sekitar. Selain untuk memenuhi kebutuhan logistik pesantren, semua produk pertanian dan peternakan di Al Mubarok juga dijual ke pasar-pasar terdekat.
Kyai Said memang meneruskan profesi almarhum ayahnya, Kyai Wira, yang seorang petani dan pengajar ilmu agama. Di awal tahun 70-an, Kyai Wira mendirikan mushala di persawahan untuk para petani. Mushala itu lalu berkembang menjadi majelis ilmu, kemudian berkembang lagi menjadi pondok pesantren yang awalnya diperuntukan bagi anak-anak petani dan peternak di sana. Karena itu, Kyai Said sebagai penerus, tetap menjadikan bertani dan berternak sebagai pelajaran praktik bagi para santri yang sifatnya wajib.
Adik Kyai Said yang tinggal di pesisir, Kyai Yasin, bahkan mendirikan pesantren dengan nama yang sama di pesisir Tasikmalaya dengan pelajaran praktik yang lebih banyak, yaitu melaut. Semua santri di sana wajib menjalani profesi nelayan, selain petani, dan peternak. Semua santri pria tingkat akhir Al Mubarok Majalengka wajib safar berjalan kaki sejauh 250 km agar bisa magang di Al Mubarok Tasikmalaya untuk belajar melaut dan menjadi nelayan selama satu bulan. Sebuah tradisi yang terus dilestarikan Kyai Said dan Kyai Yasin sejak 2010. Karena itu pula beberapa pejabat di Majalengka dan Tasikmalaya banyak yang memberi julukan Al Mubarok sebagai Pesantren Paling Indonesia, karena menjadikan tiga profesi yang sesuai dengan geografis Indonesia sebagai pelajaran wajib santrinya. Komplek pesantren itulah yang dijaga oleh Para Penjagama Malam Pesantren.
Sebutan itu adalah gelar yang digagas Kyai Said bagi santri khusus pesantren Al Mubarok. Penjaga malam adalah salah satu jalur bea siswa Al Mubarok, selain jalur prestasi, bagi empat santri tiap angkatan. Mereka semua anak yatim atau yatim piatu. Tiap tahun ajaran baru, para penjaga malam tingkat akhir bertugas menjaga lingkungan pesantren saat malam secara bergiliran. Tiap malam, pesantrean akan dijaga oleh dua orang dari mereka. Peran mereka baru akan digantikan ketika mereka magang ke Pondok Al Mubarok Tasikmalaya, yang membuat penjaga malam santri tingkat dua mulai bertugas.
Pos penjaga malam berdiri dekat ujung jalan pesantren yang bersimpangan dengan jalan umum yang disebut jalan desa. Jarak dari persimpangan ke gerbang pesantren hanya 150 meter. Pos itu berukuran 4x4 meter berupa saung bambu beratap jerami. Sisi depannya tak berdinding sementara tiga lainnya tertutup dinding anyaman bambu yang hanya menutupi sebagian punggung jika disandarkan. Di depan pos ronda, sebelum jalan desa, ada tanah merah berumput yang dijadikan tempat api unggun untuk melawan terpaan angin malam atau memanggang dan membuat nasi liwet.
Dan keempat penjaga malam sudah kembali dari penyelidikan mereka terhadap kandang domba dan jamban lele di dalam pondok. Mereka duduk melingkar di pos jaga sambil melahap nasi liwet ikan peda yang baru matang. Di tengah santap hidangan malam Adit tak kuasa menahan keresahannya.
"Bagaimana kalau ternyata salah satu teman kita pencurinya?" ujar Adit setelah membasuh tangan dari sisa nasi menggunakan sisa air minumnya di cangkir kaleng.
"Atau mungkin salah satu dari kita," sahut Boy masih mengunyah nasi. Tiga temannya kompak berpaling ke arahnya. Boy tetap tenang lalu berkata, "kita mesti adil sejak awal. Coba keluarkan alibi masing-masing!"