Menjelang subuh, para penjaga malam kembali ke area pondok. Setelah salat berjamaah keempatnya tidak keluar dari masjid. Adit dan Ega lanjut membaca Al Quran, sementara Boy membaringkan tubuhnya di karpet masjid terdepan.
"Kapan lagi habis subuh bisa goleran begini." gumam Boy dengan kepala bersadar kedua tangannya.
"Makruh, woy!" seru Wendi yang duduk bersandar dekat mimbar. "Setidaknya jangan dulu tidur sampai syuruk."
"Cuma makruh," tanggap Boy tanpa menoleh. "Lagi pula kita kan ada uzur karena habis begadang."
Wendi menggeleng karena peremehan temannya itu. Tapi matanya pun tergoda untuk memejam. Ia mulai menyibukan pikirannya dengan pikiran penyelidikan. Mengumpulkan beberapa kemungkinan dari petunjuk-petunjuk yang ada. Lama kelamaan matanya tak kuat lagi. Adit dan Ega sudah berhenti melantunkan ayat suci. Lima belas menit kemudian keempatnya sudah sama-sama terpejam dalam lelap. Tidur menyebar di atas karpet masjid.
Dua jam kemudian suara merdu perempuan membangunkan mereka. Adit yang paling pertama. Ia langsung bangkit, duduk dan menatap keluar masjid, tempat asal suara mengucap salam berulang-ulang.
"Assalamualaikum," ulang Arni dari pintu masjid. Suaranya agak berteriak agar ia tak perlu masuk.
"Walaikumsalam!" sahut Adit, buru-buru mengenakan peci hitam untuk menutupi rambut keriting acak-acakannya, saat ketiga temannya baru tergugah. Adit bangkit lalu berjalan ke arah pintu masjid sambil mengendurkan gulungan sarungnya agar lebih menutupi kaki.
"Eh, Teh Arni." angguk Adit sambil tersenyum. Ia berhenti agak jauh, khawatir napas paginya tercium. "Mau kemana, Teh?"
"Mau nganter ini," jawab Teh Arni menunjukan jinjingannya. Rantang dan wadah nasi yang terbungkus kantung pelastik besar. "Buat sarapan."
"Masya Allah," ucap Adit antusias.
"Barakallah!" seru Boy dari belakang, mendekati Adit lalu mengangguk dengan senyuman ke arah Arni. Wendi dan Ega mendekat belakangan.
"Jazakillah khair, Teh Arni." angguk Wendi.
"Terima kasih, Teh," timbrung Ega. "Repot-repo segala."
"Nggak, kok," ujar Arni menggeleng. "berhubung masih ada stok makanan yang tadinya buat kyai dan ibu nyai, tapi merekanya pergi."
Boy mendekat lalu mengulurkan tangan hendak mengambil bawaan Arni. "Sini, Teh, biar saya pegang," katanya merasa proses serah terima harus lebih cepat karena perutnya sudah lapar.
Arni memberikan jinjingan itu pada Boy lalu berpamitan. "Selamat makan semuanya, assalamualaikum," pamit Arni.
"Nggak bareng makannya, Teh?" ujar Adit mencari celah.