Empat penjaga malam pesantren kembali menyusuri pematang sawah. Tidak ada yang bisa tidur nyenyak setelah syuruk tadi. Pikiran mereka terus terngiang-ngiang atas apa yang mereka temukan tadi malam. Pukul 09.30, setelah sarapan, mereka sudah bergegas kembali ke perbatasan area tol Cipali di sisi utara pondok. Celah berupa kawat berduri yang telah putus lebih jelas terlihat pagi ini. Cukup lebar untuk badan manusia dan domba.
"Hati-hati, nanti ada PJR!" seru Ega saat Wendi mulai melewati pembatas kawat berduri. Wendi memberikan isyarat ibu jari atas masukan Ega. Boy, Adit, dan Ega belakangan menyusul. Tanah area tol sedikit menanjak sebelum mencapai bahu jalan, dan keempatnya menapaki tanah berumput itu. Mereka mulai melihat mobil-mobil melesat ke arah Barat kemudian melihat pula mobil-mobil yang melesat ke arah timur di seberang.
"Dari sini ada beberapa kemungkinan," ujar Wendi yang suaranya nyaris tertindih suara deru truk besar yang barusan lewat di lajur kiri. "pencurinya bisa jadi menyusuri pinggiran area tanah ke arah barat. Bisa jadi menyusuri pinggiran ke arah timur. Atau,"
"Menyeberang!" seru Boy. "Ya, kan?"
"Betul," jawab Wendi menunjuk Boy sebagai isyarat persetujuan.
"Nekat juga kalau bener!" ujar Arid sambil menggeleng.
"Susah kali bawa empat domba terus nyeberangin jalan tol," gugat Ega ragu.
Wendi sekarang yang menggeleng. "Kalau malam, mobil yang lewat tak seramai ini," ucapnya sambil menoleh ke arah bus yang baru melintas, kemudian tiga minibus.
"Iya juga." ucap Ega.
"Gimana? Siap nyeberang?" tanya Wendi menatap satu persatu wajah temannya. Ketiganya melongo menatap Wendi, memastikan pertanyaan berusan bukan candaan.
"Serius?" tanya Adit memastikan. Wendi tidak tersenyum ataupun tertawa yang menjadi jawaban atas pertanyaan Adit barusan.
"Astagfirullah!" seru Ega. "Kita masuk area ini aja udah melanggar hukum! Apalagi nyeberang!"
"Yakin kamu, Wen?" tanya Boy.
"Yakin," jawab Wendi. "Selama ini juga banyak santri turun dari bus kalau kembali ke pesantren," tambahnya merujuk pada kebiasaan beberapa santri yang kebanyakan dari Jawa Tengah, yang memilih turun di pinggiran jalan tol karena perbedaan waktu tempuh, ongkos, dan kerepotan, ketimbang turun di terminal Majalengka.
"Ya tapi beda lah dengan nyeberang," ujar Boy. "Ini lebih ekstrim!"
"Emang kalian nggak penasaran?" goda Wendi. "Ada apa di balik jalan tol ini? Selama ini kita hanya tahu lewat jalan desa ke arah sana," ujar Wendi sambil menunjuk ke arah timur. Jalan desa memang bisa membawa mereka menyeberangi tol lewat terowongan namun jaraknya cukup jauh.
"Mau nyeberang dengan jarak satu setengah kilo ke sana, atau kita nyeberang jalan tol, nggak sampai seratus meter langsung sampe?" tanya Wendi memberi perbandingan.
Adit menghela napas lalu menatap jalan tol dari arah timur ke barat, kemudian menatap jalur seberang ke arah mobil-mobil yang melintas. "Jadi terus!" serunya kemudian. Wendi kemudian menatap Boy dan Ega bergantian.
"Ayo, deh." ucap Boy. Ega kemudian mengangguk. Lima detik kemudian Wendi mulai melihat dengan seksama ke arah timur, ke arah mobil-mobil yang akan melintas.
"Kita santai aja," ucap Wendi memberi arahan. "yang penting sampai dulu di tengah," tunjuknya pada perbatasan antara jalur timur dan jalur barat yang berupa tanah berumput.
"Semua konsentrasi!" seru Boy, "jangan ada yang lengah!"
Wendi mulai melangkahi besi pembatas pinggira jalan tol lalu mulai menapali aspal bahu jalan. Ketiga temannya mengikuti. "Habis ini kita nyeberang!" ujarnya merujuk pada iring-iringan mobil yang sebentar lagi melintas. "Bismillah. Yuk!" teriaknya lalu berlari sebelum iring-iringan mobil berikutnya mendekat.
"Allahu akbar!" teriak Ega mengikuti tiga temannya yang selangkah lebih dulu. Keempatnya sudah berada di tengah jalan tol. Mobil-mobil yang melintas membuat rambut Boy tersibak-sibak.
Wendi mencondongkan kepalanya sambil melihat ke arah barat. Semua temanya melakukan hal yang sama. Mengira-ngira apakah jeda iring-iringan mobil berikutnya cukup memberi waktu mereka untuk berlari.
"Habis ini!" teriak Wendi saat iring-iringan terdekat hampir melewati mereka. Sedetik setelah sebuah mobil melintas Wendi berlari bersama ketiga temannya. Mobil berikutnya membuat langkah lari mereka lebih cepat.
"PJR!" teriak Boy saat melihat mobil sedan akan melintas di lajur kiri dari arah barat.
"Ya Allah!" teriak Ega "masuk penjara kita!" katatanya sambil terus berlari.
"Cepat!" seru Adit bersamaan dengan suara strobo mobil PJR terdengar.
TOOOT! TOOOOT! Suara itu bersamaan dengan menepinya mobil PJR mendekati mereka.
"Terus lari!" seru Wendi sambil melangkahi besi pinggiran jalan tol. Boy menaikan sarungnya sambil berlari agar bisa melompat. Keempatnya lanjut menuruni area tanah berumput. Mobil PJR sudah menepi. Seorang polisi keluar dari pintu kiri.
"Woy!" teriak polisi itu sambil menunjuk penuh emosi. Empat penjaga malam tidak menoleh sama sekali, sibuk melewati pagar kawat dengan merunduk. Sarung Boy tersangkut. Polisi itu mulai melangkahi pembatas besi. Adit menarik Boy dengan paksa. Sarungnya robek. Keempatnya sudah melewati pagar kawat.
"Ngapain kalian!" teriak polisi jalan tol sambil bertolak pinggang dan tersenggal-senggal. Ia sadar tidak akan mungkin lagi mengejar empat penjaga malam yang hanya menjawab dengan senyuman. Senyum yang membuat polisi itu mengumpat-ngumpat denga kata-kata yang tak terdengar karena suara mobil-mobil yang melintas dan jarak yang jauh.
Ega yang terlihat paling panik. Wajahnya memerah dengan napas ngos-ngosan. "Astagfirullah! Astagfirullah!"
"Ngalamin juga kita dikejar polisi, udah kaya GTA!" seru Adit bercampur napas tersenggal-senggal dan keringat bercururan.
"Astagfirullah, Adit, kamu main GTA!" goda Ega.
"Ah, kamu samanya!" sahut Adit.
Keempatnya lanjut menapaki pematang sawah yang jauh lebih kering dari sawah di sekitar pondok mereka. Sawah yang lebih banyak ditumbuhi rumput liar. Sebuah pemandangan yang membuat mereka merasa asing.
"Dulu seingatku ini sawah yang subur," ujar Boy sambil bertolak pinggang.