Wendi dan Boy sudah berada di persimpangan pematang terakhir sisi barat area pondok. Area persawahan yang luasnya empat kali lipat panjang area pondok pesantren. Boy masih dengan setelan kemeja lengan panjang dan sarungnya yang sobek, sementara Wendi kemeja lengan panjang dan celana panjang bahan berwarna cokelat yang belum mereka ganti karena merasa tanggung. Sesuai dengan yang Arni informasikan, dusun Ciakar adalah dusun di ujung persawahan sebelum jembatan ke dusung seberang yang dipisahkan sungai kecil yang juga menjadi sungai yang mengolongi jalan tol Cipali. Dusun itu sedang Wendi dan Boy dekati melalui sisi timurnya. Ada gubuk kecil tempat istirahat yang menjadi bangunan terakhir yang mereka lewati sebelum masuk ke area dusun.
Wendi dan Boy melewati jalan setapak tempat belasan ayam dan bebek di lepas bebaskan, mencari-cari remah-remah nasi dan sisa-sisa makanan yang terlihat sengaja ditebar oleh pemiliknya. Seorang ibu muda terlihat sedang mencarikan kutu anak perempuannya di depan pintu rumah setengah tembok setengah kayu.
"Asaalamulaikum." salam Wendi.
"Walaikumsalam," sahut ibu warga dusun.
"Punten ibu," kata Boy dengan senyuman
"Mangga," angguk ibu dengan senyuman pula. "Dari mana, Ujang?" tanya ibu itu dengan panggilan khas Sunda pada pria muda.
"Dari pesantren, Bu." jawab Boy.
"Mau tanya, Bu, kalau rumah Mang Umar di mana, yah?" tanya Wendi.
"Oh, Mang Umar? Itu belok kiri," tunjuk si Ibu dengan ibu jarinya. "nanti ada musola, belok kanan. Nah rumahnya yang cat hijau."
"Oh, iya, Ibu, hatur nuhun," angguk Wendi.
"Mangga," sahut si Ibu. Boy tersenyum dengan anggukan melewai si Ibu dan anaknya. Suara bisik-bisik masih terdengar ketika Wendi dan Boy sudah melewati keduanya beberapa langkah, seperti soal 'dua orang baru' yang belum pernah datang ke dusun itu sebelumnya.
Wendi menyusuri jalan tanah menuju titik yang ditunjukan oleh ibu warga dusun. Rumah-rumah di sekitar terlihat mirip-mirip dan tidak saling berdempetan serta tanpa pagar. Beberapa rumah memiliki empang dan kebun. Rumah bercat hijau sudah Wendi lihat. Ia mendekati teras rumah sederhana itu.
"Assalamulaikum!" ujar Wendi.
"Assalamualaikum!" bantu Boy "Punten!"
"Mang Umar!" teriak Wendi.
"Walaikumsalam!"sahut suara dari dalam. Wendi mengenali sebagai suara Mang Umar. Pintu rumah kemudian terbuka. Tampak Mang Umar berkaus singlet dengan sarung hampir tidak menutupi lututnya.
"Eh, santri?" tanya Mang Umar mengenali tapi tak tahu nama.
"Iya, Mang, saya Wendi, penjaga malam pesantren."
"Oh, iya, sini masuk!" ajaknya sambil melonggarkan sarung agar lebih turun. Wendi dan Boy memenuhi persilakan itu. Keduanya membuka sandal mereka sebelum naik ke teras berubin kotak-kotak hitam yang terasa sejuk di telapak kaki. Mang Umar mempersilakan keduanya duduk di ubin sebagaimana dirinya sudah lebih dulu. Wendi menyalami Mang Umar disusul Boy yang menyalami sambil menyebutkan namanya.
"Gimana, Jang Wendi, Jang Boy?" tanya Mang Umar "Ada yang bisa saya bantu?"
Wendi bersila dulu lalu menjawab "Mang Umar mungkin tau alasan kami datang ke sini," ujar Wendi.
"Soal domba yang hilang, kan?"
"Betul, Mang!" sahut Boy sementara Wendi mengangguk.
"Kami mau tanya, apakah di sekitar pesantren kita ada peternakan domba, atau kandang domba punya warga?"
Mang Umar terlihat menerawang, seperti mengingat-ngingat sesuatu. "Kalau di Dusun Ciakar ini adanya yang punya kandang ayam sama bebek, kaalu domba mah nggak ada, Jang."
Wendi mengangguk mendengar jawaban itu.
"Memang kenapa, Jang?" tanya Mang Umar.
Wendi maju dalam duduknya sebelum menjawab. "Kami menduga domba kita sebenarnya dibawa dalam keadaan utuh, Mang."
Mang Umar mengerutkan kening. "Maksudnya?"
"Maksudnya, jeroan yang ditinggal di dekat kandang domba itu bukan jeroan domba kita, Mang." sambut Boy.
Mang Umar mengangguk-ngangguk dengan kecepatan yang bertambah, seolah menyadari sesuatu. "Iya, juga, yah. Bisa jadi begitu," ucapnya. "Saya juga heran, ngapain nyuri domba tapi ninggalin jeroan?"