Sesaat setelah salat isya berjamaah yang juga diikuti Arni, mereka memberi kabar akan pergi ke Dusun Babakan untuk memastikan keberadaan domba curian yang mungkin ada di sana. Arni berpesan pada para penjaga malam untuk berhati-hati. Sebuah saran yang sangat terasa syahdu bagi Adit.
Setengah jam setelahnya, penjaga malam sudah berada di pos ronda. Langit malam cukup cerah dengan bulan purnama yang cukup membantu terang. Suara kodok, jangkrik, dan deru mobil yang sayup-sayup dari tol Cipali mengisi suasana malam ini.
"Kali ini kita tidak mungkin meninggalkan pos, karena terlalu jauh dan mungkin lama," ujar Wendi sambil mengganti baterai senter yang ia pegang dengan baterai baru.
"Aku ikut, karena sudah pengalaman!" seru Boy semangat. Lebih ke dendam dan penasaran karena usahanya masuk ke Dusun Babakan tercegah oleh pria misterius.
"Kamu atau Ega, Dit, yang jaga di pos?" tanya Wendi pada Adit.
Seolah berpikir dulu baru kemudian Adit menjawab "Sebenarnya aku mau ikut, tapi tak tega meninggalkan Teh Arni sendiri terlalu lama. Takutnya ada apa-apa.
"Kalau Adit sendiri juga bahaya, kan?" gugat Ega. "Kalau pondok ada yang nyerang gimana bisa dia melawan sendirian?"
"Siapa juga sih yang mau nyerang pondok kita?" ujar Adit mematahkan kekhawatiran Ega.
"Yah, siapa tau ada rampok yang kepepet," ucap Ega sekenanya.
"Naudzubillahiminzalik!" ucap Boy menjeda perdebatan.
"Kamu harus berjaga di antara kami, Ga," kata Wendi memberi arahan.
"Hah? Di antara gimana?"
"Kamu jaga di jembatan, kalau-kalau ada apa-apa, baik dari aku dan Boy, ataupun Adit di pos." ucap Wendi memberi penjelasan.
"Jembatan yang di dekat dusun itu?" tanya Ega.
"Iya," jawab Wendi lalu memberi Ega senter yang baru ia ganti baterainya. "Senter ini alat komunikasi darurat kita. Yang ini untuk di sini," sambungnya menyimpan senter satu lagi di samping Adit yang duduk bersandar pada tiang pos.
"Emang bakal keliatan?" tanya Adit sambil membetulkan peci hitamnya yang miring.
"Kalau kamu nyorotnya ke arah barat, Ega bakal ngeliat senter kamu, juga sebaliknya," ujar Wendi. "Nanti kalau kami udah sampai jembatan bakal nyorot sekali ke arah sini. Kamu bales yah. Setelah itu, jangan nyenter kalau nggak ada apa-apa."
Adit mengangguk lalu membalik tubuhnya ke arah barat, melihat jauh ke arah persawahan yang temaram. Ia mengira-ngira arah teman-temannya akan berada nanti.
"Siap, Boy, Ga?" tanya Wendi seraya mengetes senter yang akan ia bawa sendiri. Berfungsi dengan baik.
"Siap gerak, komandan!" jawab Boy semangat lalu menyelipkan golok ke ikatan sarung di pinggangnya. Wendi dan Boy sama-sama pakai jaket untuk menahan angin malam.
"Gas!"jawab Ega belakangan. Ia mengenakan sweater dan tudung hoody pada kepalanya.