Para Penjaga Malam Pesantren

Agung Satriawan
Chapter #10

CAHAYA

Adit menyeruput lagi kopi paitnya sambil duduk bersandar pada sisi pos ronda. Arah duduk sambil melihat ke persawahan membuatnya tak nyaman, tapi ia paksa teruskan. Sesekali ia menepis serangan nyamuk, yang biasanya tak sebanyak ini karena sekarang ia jadi sasaran tunggal. Sudah setengah jam teman-temannya pergi, membuatnya harus terus sesekali melihat ke arah barat, lalu sesekali ke arah rumah Kyai Said yang terlihat bagian sampingnya meski terhalang rerimbunan pohon. Terbesit angan-angan sosok Arni yang keluar, meminta tolong sesuatu, atau apapun yang membuatnya bisa memberinya kesempatan untuk bertemu.

Tatapannya menyipit kali ini. Ia terperanjat lalu beranjak setengah duduk melihat ke arah cahaya yang menyala. Lampu teras rumah Kyai Said menyala. Adit berpikir khayalannya akan terwujud. Lampu teras yang menyala menandakan akan keluar penghuningnya. Lampu yang membuat Adit tak melihat ada lampu lain di kejauhan yang juga menyala. Perhatiannya terus tertuju pada remang rumah Kyai Said. Suara pintu sayup-sayup terdengar terbuka. Meski belum terlihat siapa-siapa, Adit sudah merapikan pinggiran rambut yang tak tertutup peci hitamnya. Cahaya di barat ia abaikan.

***

Ega sudah selesai melantunkan Surat Yasin untuk kedua kalinya. Bagian Ayat Kursi membuatnya lebih tenang saat berdiri dalam kesendirian. Dua temannya belum kembali. Sesekali ia duduk di gundukan pematang dan bersandar pada pohon pisang namun tetap menghadap ke timur, kalau-kalau Adit memberi sinyal darurat. Pencurian domba membuat ia berpikiran terbuka bahwa pesantrennya mungkin sedang dalam incaran orang jahat. Dari pencurian, bisa saja jadi perampokan, pikirnya. Sesekali pula ia melihat ke arah pergi Boy dan Wendi, kalau-kalau dua temannya itu sudah kembali. Saat kantuk tiba-tiba menyerang, ia mendengar langkah kaki. Sempat menoleh ke arah jembatan, karena mengira itu Boy dan Wendi, namun ia berpaling saat sadar suara langkah itu berasal dari pematang sawah. Sorot senternya bergoyang-goyang meski cenderung ke depan. Ega hampir mengira itu Adit yang menyusul, namun keburu ingat bahwa tidak ada sinyal cahaya apapun dari arah pos ronda di timur sana. Seketika Ega batal berdiri tegak, dan hanya setengah berdiri, lalu mengendap senyap ke balik pohon di sisi kanan jembatan bambu.

Suara langkah itu terdengar buru-buru. Sosoknya semakin dekat. Cahaya senternya terlihat menerangi jembatan bambu. Ega membeku diri dan bernapas sangat perlahan, berusaha tak menimbulkan suara apapun. Tak seperti Wendi dan Boy barusan, sosok pria itu melewati jembatan bambu dengan cepat, seperti sudah biasa. Jalannya mengingatkan Ega pada sosok yang ia kenal. Lalu semilir aroma membuatnya yakin atas dugaannya sendiri. Aroma parfum yang hampir setiap hari ia endus ketika di kelas. Sepersekian detik Ega mendesak diri mengambil keputusan. Menampik pilihan memanggil nama sosok itu, karena boleh jadi lebih baik tetap rahasia. Ega memilih mengarahkan senternya ke arah timur. Ia menekan tombolnya berkali-kali dan menggoyang-goyangkannya dengan putaran berlawanan arah jarum jam.

Tidak ada balasan.

***

Adit melihat sosok samar di teras rumah Kyai Said yang baru saja keluar. Sosok itu berjalan hingga ujung teras lalu tak terlihat lagi karena pepohonan dan pagar pembatas area pesantren menghalanginya. Adit cukup yakin bahwa itu Arni, karenanya ia menanti. Tapi tak ada sosok Arni melewati gerbang pesantren dalam waktu yang seharusnya sudah. Adit lalu bersiap berdiri untuk masuk ke area pesantren, namun pandangannya menangkap cahaya lagi.

Ada kelipan yang bergoyang-goyang dari titik ia melihat cahaya sebelumnya yang ia yakini dari Ega. Ia langsung mengambil senter dan menyorot ke arah itu. Cahaya itu berkedip berkali-kali. Adit membalas dengan mengedip-ngedipkan pula senternya. Ia menepis kemungkinan bahwa Ega sedang bercanda. Ia beringsut dari pos ronda, memakai sandalnya lalu berlari menuju pematang sawah.

***

Lengan kanan Ega sudah pegal karena menggoyang-goyangkan senter. Ia ganti menggunakan tangan kiri. Ega terus melakukan itu berkali-kali sampai akhirnya ada cahaya kecil yang bergoyang-goyang pula di timur sana. Ega coba menekan tombol on/off berkali-kali. Cahaya itu mengikuti pola yang sama, lalu kemudian padam. Ia mencoba menenangkan diri sambil mengira-ngira apa yang Wendi dan Boy alami. Ada dilema dalam dirinya, lansung menyusul, atau menunggu Adit tiba.

***

Pria bewok yang siang tadi mencegat sudah melucuti golok Boy dari pinggangnya. Sekarang tangan Boy dan Wendi sudah terikat kebelakang. Keduanya didorong paksa melewati pinggiran rumah, ke arah kerumunan warga di tanah lapang.

"LIHAT INI, A RAGA!" teriak Ustad Ansor, menyebut nama sosok pemimpin ritual, hingga tebasan pada domba ketiga pun tertunda. Ustad Ansor bersama tiga warga mendorong-dorong Wendi dan Boy mendekati pemimpin mereka. Sekarang Wendi bisa melihat sosok itu dengan jelas. Pria lima puluh tahunan berambut putih dengan ikat kepala batik melingkar di kepala. Pakaiannya hitam-hitam dan bertelanjang kaki.

"Saha iyeu?" tanya Ki Raga menatap tajam Wendi dan Boy yang mendekatinya karena terpaksa.

"Santri Al Mubarok!" kata pria bewok pencegat sambil menendang bagian belakang lutut Wendi dan Boy, hingga kedua kaki keduanya bertekuklutut. Mereka bisa merasakan hawa panas api yang menari-nari tak jauh dari wajah mereka.

Ki Raga menyunggingkan senyum miring yang mengerikan. Ia mendekat lalu membungkuk, memegang rahang Wendi dengan tangan yang tak memegang pisaunya, menghadapkan wajahnya Wendi pada wajahnya, kemudian bergeser dan melakukan hal yang sama pada Boy.

"Ternyata kalian!" ujar Boy bersusah payah karena rahangnya tertekan oleh tangan Ki Raga. "Para penyembah setan!"

Ucapan itu membuat Ki Raga tertawa, lalu Ustad Ansor dan semua warga tertawa.

"Penyembah setan?" kata Ki Raga melepas cengkaramannya dari wajah Boy yang lengket dengan keringat. "Kami tidak menyembahnya. Kami hanya menjaga hubungan baik dengan panglimanya," ujar Ki Raga sambil berjalan mondar-mandir di hadapan Boy dan Wendi.

"Bukankah itu syirik, Ustad?" ucap Wendi mengarahkan pandangannya pada Ustad Ansor.

Ustad Ansor melangkah lebih dekat lagi ke tempat Wendi berlutut. "Tentu," jawabanya. "Kalau patokannya fikih-fikih yang dibawa orang-orang Arab dengan kitab-kitab omong kosongnya."

Lihat selengkapnya