Wendi sudah pasrah dengan apa yang akan terjadi selanjutnya. Ia sudah mendengar teriakan Ki Raga yang tidak ia ketahuia artinya, yang ia anggap sebagai mantra kesyirikan. Tangan Ki Raga yang memegang pisau sudah mengudara. Sedetik kemudian, bersamaan dengan teriakan Boy, tangan itu mengayun, namun terhenti.
Terhenti oleh anak panah yang menghujam bahunya. Ki Raga mengerang. Ia menatap anak panah itu dengan melotot. Ustad Ansor dan warga berpaling ke segala arah, mencari tahu arah datang anak panah itu. Tiba-tiba anak panah satu lagi melesat, hampir mengenai wajah Ki Raga. Lalu sebuah batu melesat mengenai salah satu warga di dekat kobaran api. Lalu lesatan batu lagi tepat mengenai kening pria bewok di sampingnya. Tiga warga pemegang parang membolak-balikan tubuhnya, mencari asal lemparan itu.
"TEANG!" teria Ki Raga sambil mengerang, perintah mencari siapapun pelakunya. "UDAG!" teriaknya lagi memberi perintah mengejar lalu menjatuhkan pisau dan mencabut anak panah dari bahunya.Darah segar menyembur membasahi baju hitamnya. Ustad Ansor juga berteriak memberi perintah pada para warga untuk berpencar ke segala arah. Kepanikan itu Wendi manfaatkan untuk berdiri, lalu menoleh ke arah Boy yang melakukan gerakan serupa. Saat Ki Raga sadar bahwa Boy hendak berlari, ia melompat seraya menarik tubuh Boy untuk menghentikannya. Wendi berlari menabrakan diri pada tubuh Ki Raga sekuat tenaga, membuatnya sama-sama tersungkur, dan genggaman Ki Raga pun terlepas.
"LARI, BOY!" teriak Wendi. Waktu bagai terhenti bagi Boy. Ia melihat kesempatan berlari ke arah pinggir rumah tempat ia bersembunyi tadi, tapi juga melihat Wendi yang terkapar berdekatan dengan Ki Raga yang mulai kembali berdiri, lalu Ustad Ansor yang melangkah mendekat. Dalam sepersekian detik Boy memutuskan untuk berbalik, melangkah untuk menendang kepala Ki Raga sekuat-kuatnya agar Wendi punya cukup waktu untuk berdiri dan melarikan diri.
"ALLAHU AKBAR!" seru Boy dengan tendangan yang membuat sakit tempurung kakinya. Sendalnya sampai terputus. Wendi berputar dalam pembaringan agar bisa berdiri. Tidak begitu cepat dibanding Ustad Ansor yang lebih dulu mencengkaramnya, lalu mendaratkan pukulan ke pipinya. Wendi gontai, hingga terjatuh lagi ke dekat kaki Ki Raga. Ustad Ansor mengambil potongan kayu dekat kobaran api. Ujungnya berbara yang menyala. Ia baru akan mengayunkan kayu itu pada kepala Boy yang melangkah mundur. Sebuah teriakan, kemudian tendangan, menyelamatkan Boy dari kayu berbara itu. Ustad Ansor tersungkur karena tendangan Adit, sebagaimana tersungkurnya warga pemegang parang karena lemparan batu dari Ega yang disusul pukulan menggunakan senter yang menimbulkan suara peraduan yang renyah. Adit buru-buru mengambil pisau Ki Raga dari tanah sementara Ega membangunkan Wendi untuk memaksanya berdiri.
"TAHAN, WEN! LARI!" seru Adit sambil menyeretnya. Ajakan yang membuat Wendi memaksa diri untuk kuat berlari. Saat warga dari segala penjuru mulai mengejar mereka, keempatnya berlari melewati pinggiran rumah.
"TEH ARNI!" teriak Adit sambil terus berlari. Teriakan yang ia jadikan kode bahwa Arni pun harus segera pergi dari manapun tempat persembunyiannya. Lesatan-lesatan anak panahnya sudah cukup membantu. Teriakan-teriakan Ustad Ansor dan warga dusun terdengar di belakang mereka. Membuat keempat penjaga malam tidak bisa mengurangi kecepatan sedikitpun dalam pelariannya. Ega berusaha tetap menyoroti jalan setapak tanah dengan senternya yang kadang padam kadang menyala. Boy melepas sekalian kedua sandalnya agar lebih lincah berlari. Tak peduli lagi pada apa kakinya injak. Batu, kayu, maupun pohon berduri. Semua terasa sama. Adrenalin kepanikan membuatnya kebas. Persimpangan jalan setepak sudah terlihat. Keempatnya berbelok, terus lari dari kejaran warga di belakang mereka.