Dusun Babakan tidak lagi tertutup. Malam itu juga polisi memasang garis kuning karena menjadikannya Tempat Kejadian Perkara. Hampir semua warga dusun menjadi tersangka. Pencurian-pencurian lain ikut terungkap karena berita yang menyebar membuat dusun-dusun lain melaporkan kehilangan mereka.
Wendi masih dalam fase pemulihan dari pipinya yang lebam karena pukulan Ustad Ansor. Begitu juga Boy yang kakinya masih bengkak karena menendang kepala Ki Raga. Telapak kakinya penuh luka goresan akibat lari tanpa alas. Adit dan Ega jadi lebih pendiam. Yang satu karena jatuh cinta, yang satu karena masih trauma. Ega masih tak percaya ia bisa melakukan semua aksinya pada dua malam kemarin.
Meski begitu, keempatnya masih Kyai Said tugaskan untuk berjaga dan menyambut para santri yang mulai berdatangan dari liburan mereka. Beberapa memang biasa datang saat malam hari. Baik yang diantar maupun yang datang sendiri. Keempatnya duduk berpencar di semua sisi pos ronda.
"Kok bisa Teh Arni ikutan?" tanya Ega memecah sunyi, merasa harus tahu hal yang selama ini belum ia ketahui detailnya.
Adit beringsut menghadap pada Ega dari tatapannya sebelumnya ke arah teras rumah Kyai Said. "Teh Arni keluar dari rumah Kyai Said sebelum aku mendatangi kamu di dekat jembatan," jawab Adit. "Ia mendapat balasan dari Kyai Said soal santri yang ternyata anak Ustad Ansor. Kabar itu mengagetkan Kyai Said karena Ustad Ansor mengaku belum punya anak. Bahkan pernah meminta amalan pada Kyai Said agar bisa punya anak."
Wendi mendengus mendengar itu. "Ternyata hanya dusta," ujarnya sini.
"Bahkan, Teh Arni bilang, di Kartu Keluarganya tidak ada nama anak itu," ujar Adit. "Santriwati itulah yang jadi informan bagi warga Dusun Babakan agar lebih mudah mencuri domba kita."
"Mereka mengincar domba kita menjelang purnama," ucap Boy dari duduknya menghadap perapian. Membuatnya teringat pula kobaran api di malam kejadian. "Itu berhubungan dengan ritual satanis musyrik mereka."
"Kok kamu tau?" tanya Ega antusias.