Diatri
Pagi itu terasa sangat berbeda bagiku. Dingin tak wajar menyelimuti sekujur tubuh. Sunyi tanpa suara gerakan apapun. Aku menyingkap selimut, merapatkan sisa selimutku ke badan Dio. Ia masih lelap. Perlahan kuturun dari ranjang dan melangkah keluar kamar.
Tirai di beberapa titik rumah masih tertutup. Kulihat sekeliling rumah, tidak ada tanda kehidupan selain aku dan Dio. Ketika titik mataku terhenti di atas meja makan, kertas berwarna kuning menyolok tampak jelas terlihat. Napasku tiba-tiba berat, mataku mulai berembun, kakiku melemah namun berusaha tetap berdiri. Kulangkahkan kaki sepenuh tenaga menuju meja makan.
Setiba di dekat meja makan, aku hanya menatap kertas kuning bertuliskan UNTUK ISTRIKU, DIATRI. Mataku semakin berembun, tak lama kemudian berubah menjadi hujan deras. Sesak dadaku hingga rasanya tak kuat lagi paruku menarik oksigen ke dalamnya. Kumenangis tanpa suara.
"Maaa..." suara Dio di sampingku mengejutkanku. Tangan mungilnya menarik ujung dasaterku. Rupanya ia telah bangun dan menghampiriku. Segera aku mengusap pipi yang basah dan menggendongnya. Membawanya kembali ke kamar.
Aku tahu isi kertas kuning itu, namun tak ada kekuatan untuk memastikan isinya. Kepalaku dengan sigap menyusun rencana demi rencana, dari memandikan Dio, sarapan bersama Dio, mengemasi baju-bajuku dan Dio, lalu pulang ke rumah Mama.
Kuajak Dio mandi, untunglah tak perlu waktu dan tenaga lebih untuk membujuknya. Dio sangat mudah bekerja sama menyelesaikan semua rencanaku. Ketika selesai sarapan, kuminta Dio duduk kasur kecilnya sambil melihat-lihat isi buku favoritnya sementara aku mengemasi barang-barang dan bersiap diri.
"Io, Mimi mandi sebentar ya. Io duduk sini, tunggu Mimi jangan kemana-mana. Oke?" Dio mengangguk menggemaskan. Dia selalu berhasil menenangkan kekalutanku.
Segera aku meraih handuk dan masuk kamar mandi. Mandi kilat. Mandi bebek. Aku ingin segera keluar dari rumah. Meninggalkan segalanya di sini.
Ketika semua sudah siap, kupanggil Dio agar segera masuk ke mobil. Dio yang badannya gempal nampak lucu sekali mendekap boneka kesayangannya sambil setengah berlari menghampiriku.
"Io, mulai hari ini kita tinggal bareng uti akung ya... Pipi lagi pergi jauh. Nggak papa ya, Io?" Kataku pada Dio, menyamakan tinggi mataku dengan matanya. Kulihat mata Dio yang penuh pertanyaan namun tak mampu ia utarakan.
Kupeluk tubuh Dio. Kuberbisik, "Maafin Mimi ya, Io. Maaf." air mataku deras di baju Dio. Dio terdiam tanpa perlawanan.
Tak ingin makin tenggelam dalam kesedihan dan membuat Dio semakin bingung, cepat-cepat aku mengusap air mata, melepaskan pelukan, dan membenarkan baju Dio yang lungset.
Kugandeng tangan Dio masuk ke car seat-nya. Setelah memastikan Dio duduk aman, kulaju mobil ke rumah Mama. Sepanjang jalan aku sangat berusaha menegarkan hati. Kertas kuning di atas meja makan telah kusimpan di kantong celanaku. Belum juga kubaca. Namun aku tahu isinya.
"Tri, ada apa?" tanya Papa ketika melihatku datang setelah membantu Dio turun. Pertanyaan yang tidak lazim dilontarkan. Sepertinya Papa paham kondisiku.
Aku pun tak sanggup menjawab pertanyaannya. Tangisku pecah di pelukannya. Papa menenggelamkan kepalaku di dadanya. Mengelus pundakku halus. Sementara Dio telah asik bermain bersama anak-anak ayam di halaman rumah. Setelah tangisku mereda, Papa menuntunku ke dalam rumah.
"Io, masuk ke rumah, Nak!" Seru Papa memanggil Dio. Dio segera beranjak dari kerumunan anak-anak ayam dan berlari mendahului kami masuk rumah.
"Utiii...! Utiii...! Io datang nih! Utiii...." Dio berteriak lantang memanggil utinya. Dari ruang keluarga, kudengar suara Mama yang girang menyambut kedatangan Dio.
Papa mengajakku duduk di ruang tamu.
"Ma, Mama. Ke sini dulu, Ma."