Parabunga

Robeni
Chapter #1

Prolog

Kenapa manusia menyukai keindahan? Karena memang aku, kamu, kalian, tidak akan benar-benar terlepas dari keburukan.

Seperti kota ini yang dibangun untuk terlihat indah di permukaan, di atas ketinggian, maupun di balik dinding beton yang meredam suara-suara desah dan tawa kegirangan.

Suasana tenang dengan sengaja diciptakan, berkamuflase dalam barisan gedung remang-remang. Senyap, ini akan baik-baik saja, selama semuanya bungkam, diam. Tidak ada yang akan mengusik selagi tidak berisik.

Kota ini memang rumit, memisahkan keindahan dan keburukan sangat sulit. Sama sulitnya ketika harus menerjemahkan keindahan, sesulit memahami sebuah keburukan, dua sisi yang tidak dapat terlihat jika hanya melihat satu sisi saja.

Semua sisi terlihat semu, hingga mataku tidak dapat menemukan hal berbeda dari keburukan, keindahan, kebaikan.

Dunia menyimpan banyak hal yang tidak sama dengan namanya.

***

Bunga melakukan touch up, dia oleskan long lasting lipstick matte pada bibir lalu menyemprotkan 212 sexy ke area lengan dan lehernya.

“Sebentar ya, ada kepentingan mendesak. Sejam lagi aku balik, jangan bubar dulu!”

Suara Bunga menjeda perbincangan kami berlima. Bunga mengibaskan rambut lurusnya, kemudian melangkah dengan percaya diri seolah dia akan menepati janji.

Dia memang selalu berusaha untuk menepati janji, satu atau dua jam untuk kami yang tidak pernah menanti, akan terasa sangat singkat saat dia kembali.

Salah seorang dari kami berempat menarik jari dari permukaan iPad membawa serta tubuhnya dan sekaligus mengakhiri permainan ludo yang sedang berlangsung.

“Damn it, tuh anak tiap kumpul selalu izin ya, aneh.” Jati memperhatikan kepergian Bunga.

“Yang aneh itu, elu. Tiba-tiba ngilang eh, muncul-muncul di hotel!”

Jawabanku membungkam mulut nyinyir Jati. Dari luar terlihat Pinus yang tadi sempat diam-diam membuntuti Bunga. Dia berlari kembali ke dalam dan menarik perhatian kami bertiga.

“Gila-gila ... si Bunga dijemput Om-om pake Pajero, Cuy!” seru Pinus.

“The shit is going to hit the fan!” seru Jati memperpanas suasana.

“Apaan sih, kalian tuh ya ... cowok-cowok kok gibah deh, aw!”

Teguran tidak serius dari Tulip membubarkan acara gibah yang baru saja akan dimulai.

Satu jam berlalu, Bunga kembali dengan membawa banyak makanan dan minuman branded di kedua tangannya. Tulip menatap curiga penampilan Bunga.

“Dari mana, kok cepet banget, Say?”

“Biasa, cuma BO short time!

Bunga tertawa kegirangan sambil membagikan makanan. Dia melangkah mendekat lalu duduk di sampingku.

Tercium aroma perpaduan lemon dan daun sage khas toiletries line Bliss, rambut Bunga masih terlihat sedikit basah.

Tulip, Pinus, dan Jati tidak banyak bertanya lagi. Mulut mereka sudah tersumpal dengan donat branded yang memiliki standar rasa internasional, aku tersenyum pahit.

Dari sisi lain aku memperhatikan Bunga, aku mulai berpikir tentang apa-apa yang Pinus katakan dan apa-apa yang baru saja Bunga ucapkan. Benarkah?

Belum sempat pertanyaanku menemui jawabannya, Bunga sudah menunjukkan sebuah undangan, dia berencana membawa kami untuk open bottle di tempat clubbing yang minimal spend 2,5 juta.

Itu cukup mahal untuk aku yang baru saja lulus kuliah dan memasuki dunia kerja. Aku mengungkapkan penolakan pada ajakan Bunga.

Banyak hal yang lebih berguna yang bisa dilakukan dengan sejumlah uang itu, tidak mudah bagiku untuk menghabiskannya.

Bunga terus membujuk, dia tahu jika aku bukan laki-laki yang mudah menolak ajakan perempuan cantik.

“Ben, kalau kamu gak ikut, Jati sama Pinus juga gak akan mau ikut tau,” bujuk Bunga, wajahnya memelas.

“Bohong banget!” jawabku sinis sambil menatap Jati dan Pinus yang sedang pura-pura sibuk dengan smartphone-nya.

“Ih, masa kamu tega sih, Ben ngebiarin aku sama Tulip doang ketempat itu ...”

“Ben, guest star nya gak ecek-ecek loh, DJ yang kemaren ikutan di opening DWP tumplak semua. Ayolah, Ben!”

Tatapan mata Tulip meluluhkan hati, akhirnya aku terbujuk juga.

***

Malam yang sudah ditentukan oleh Bunga tiba. Ternyata aku cukup membawa badan saja.

Ketika pembayaran, Bunga menolak saat aku mengeluarkan selembar uang merah, Jati mengambil uang itu dan memasukkannya kedalam sakuku.

"One foot in the grave!" ejek Jati.

Bunga memang mengerti kondisiku, dia tidak pernah tega membiarkan aku untuk lebih dalam merogoh isi dompet.

Sepertinya Bunga memiliki banyak uang. Apa uang sangat mudah dia dapatkan? Cukup dengan merengek lalu menyodorkan tangan pada orang tuanya, mungkin.

Bunga selalu terlihat tenang saat harus mengeluarkan uang untuk teman-temannya, sementara kami selalu senang menikmatinya.

Kami terlihat seperti anak muda hit ibu kota dengan outfit yang kami kenakan saat ini. Tentunya semua sesuai arahan dari Jati.

Aku berbaur di antara mereka yang entah benarkah keadaan perekonomiannya sebaik dengan gaya yang mereka punya. Apakah mereka sama saja seperti aku, seperti teman-temanku yang hanya mengedepankan gaya saja.

Aku memang seperti itu saat melihat hal menarik di depan mata, aku selalu berpikir tentang hal yang tidak menarik di belakangnya.

Banyak hal yang bisa dipikirkan dan bisa memberikan satu hal yang dapat dilakukan. Seperti pemikiranku tentang mereka saat ini. Jika mereka semudah itu menghamburkan uangnya maka aku akan semudah itu juga untuk tidak melakukannya.

Malam itu kami menggila karena Finlandia, Jagermeister dan jenis spirits lainnya. Berbeda dengan Bunga yang malah asik dengan smartphone-nya.

Tidak lama dari itu datanglah laki-laki dewasa yang necis, klimis dengan gaya rambutnya. Laki-laki itu menghampiri table kami, Bunga menyambutnya dengan hangat penuh gairah.

Laki-laki itu membalas perlakuan Bunga dengan wajar, mungkin dia merasa jika kami sedang memperhatikan, sehingga dia hanya melontarkan senyum pada kami berempat, lalu duduk.

“Mau minum apa, Bang?” tanya Bunga dengan manja.

Laki-laki itu mendekatkan bibirnya pada telinga Bunga, dia gunakan tangan kanan untuk menghalagi telinga Bunga dari musik EDM yang terdengar memenuhi isi ruangan.

Laki-laki itu mulai berbisik, mata Bunga mengerling, dia terlihat menahan geli. Perlahan tangan yang menutupi telinga Bunga terlepas, dengan lembut bibir dan hidung laki-laki itu menempel di pipi Bunga. Mereka bertatapan, Bunga tersenyum malu.

Tanpa sadar kami berempat telah memperhatikan adegan itu, dan secepat mungkin mengalihkan perhatian ketika kami tersadar jika adegan itu bukan di layar kaca.

Laki-laki itu mengangkat tangan kanan ke atas lalu menggunakan jempol untuk menyalakan api pada criket, memberikan isyarat pada waiters agar mendekat.

Lihat selengkapnya