Parabunga

Robeni
Chapter #2

Bunga

Jawaban Bunga tentang pertanyaanku beberapa hari lalu menciptakan sebuah rasa yang mendesak untuk aku kembali menanyakan kebenarannya.

Tulip tertawa saat aku bercerita tentang pengakuan Bunga. Tulip berkata, “Itu emang hobi si Bunga, that's right!” jawaban itu terucap ringan nyaris tampak tidak meyakinkan.

Jawaban mudah, yang tidak semudah itu untuk aku percaya. “Elu, tau dari mana?” tanyaku lagi, memastikan kebenaran. Bagaimana bisa kata-kata seperti itu dapat dipercaya.

“Gue lebih tau dari elu ya, Ben. Gue berteman sama dia sudah sejak menstruasi pertama, dia juga yang mengajarkan bagaimana caranya cipokan, sampe gimana caranya megang begituan.” Ada aksen daerah yang masih terasa dari perkataan Tulip, ini sedikit kelucuan di antara sebuah kenyataan, nyatakah itu?

Aku mengenal Bunga belum lama, mungkin belum genap satu tahun, sebelumnya aku tidak pernah serumit itu untuk mengetahui seseorang, kenal ya kenal saja.

Walaupun itu belum tentu kebenarannya tapi aku merasa sedikit kecewa. Aku tidak pernah memaksa orang lain untuk percaya jika aku seseorang yang lebih baik dari Bunga. Aku juga tidak merasa seperti itu. Aku masih bisa mengatakan jika beer adalah minuman yang lebih nikmat dari air mineral. Ya, aku tidak mau bohong jika air mineral tawar rasanya.

Aku mulai sok sibuk dengan kehidupanku sendiri, hal itu bisa aku lakukan untuk mengurangi intensitas pertemuanku dengan Bunga.

Aku berhasil membuat Bunga mengomentari setiap instagram story yang isinya kedekatan aku dengan teman-teman di lingkungan kerja.

Di kantor, aku memang selalu tebar umpan karena sadar, aku kurang tampan.

Hal itu ampuh mengalihkan ajakkan hangout dari Bunga. Tapi pertahananku menghindari Bunga hanya bertahan beberapa minggu.

Sampai pada suatu hari pukul 01.33 Bunga mengirim pesan melalui WhatsApp. [Ben, jemput aku di X Square, please urgent!] Tempat itu adalah tempat yang dia sebut ‘gudang gadun’ sial, dia pikir aku ‘ANJELO’ apa!

Aku hanya melihat pesan itu dari pop up notification tanpa membuka aplikasi WhatsApp. Dia call berkali-kali sampai melakukan call ke jaringan seluler.

Aku mulai gelisah, di era ini jika seseorang sampai melakukan panggilan ke jaringan 2G, ini tandanya hal penting, mendesak. Akhirnya aku menjawab panggilan Bunga.

“Ben, jemput aku please!” Suara Bunga terdengar lemah. Dari panggilan itu aku tak banyak bertanya, aku hanya menyuruhnya melakukan share location.

Dengan rasa malas aku berangkat ke tempat yang Bunga katakan. Di perjalanan aku merasakan sedikit berdebar, ada rasa cemas yang diam-diam aku sembunyikan.

Jalanan kota tidak ramai saat menjelang pagi buta, tempat yang Bunga maksud tidak begitu jauh dari pusat kota. Tidak lama akhirnya aku sampai di gedung yang disebutkan Bunga.

Dari luar tidak ada yang mencurigakan. Gedung terlihat sudah close, tidak terdengar suara apa pun, hanya dim lamp yang tetap menyala di beberapa dindingnya. Tidak ada kendaraan terparkir di area luarnya, sepertinya parkir hanya di basemen.

Pukul 01.57 hari Selasa, aku mulai memasuki basement dan mulai terlihat banyak sekali mobil terparkir.

Bunga sudah pernah memberitahukan cara masuk ke dalamnya dan harus melakukan apa saja untuk masuk menjemput dia.

Ini membuat jantungku berdebar lebih cepat, mungkin karena pengalaman pertamaku ke tempat seperti ini, dari semua temannya, kenapa harus aku?

Aku sampai di depan lobi, suasananya tenang. “Saya Beni tamunya Bunga,” ucapku pada receptionist.

Bunga sudah terkenal di tempat kerjanya, cukup sebut nama saja tidak akan banyak pertanyaan lagi dari security maupun receptionist.

“Tunggu sebentar, Kak. Saya akan konfirmasi Bunga dulu.” Receptionist melakukan panggilan dengan telepon di meja kerjanya.

Tidak lama aku diberi petunjuk untuk menuju sebuah room. Aku sempat melewati beberapa spot yang membuatku tercengang.

Aroma nakal tercium nyaman di hidung, menciptakan rasa hangat di dalam tubuhku. Beberapa perempuan berjejer di ruangan kaca layaknya Barbie dalam showcase.

Setting bar party mafia dengan pole dance, perempuan dengan unsur sensual mengerumuni laki-laki, semuanya ternyata nyata, ada di kota ini, kota yang membuat mereka yang awam merasa nyaman.

Aku kembali berjalan, kali ini melewati lorong yang kanan dan kirinya sebuah room berdinding kaca berlapis peredam suara. Pikiranku mulai kotor, aku mulai berimajinasi jika tiba-tiba saja semua dinding room itu berubah transparan, mungkin akan menarik untuk disaksikan.

Akhirnya aku sampai di room-nya Bunga. Aku masuk, terlihat Bunga sedang meringkuk membelakangiku. Sebuah buntut dengan bulu-bulu lembut sepanjang batas pahanya menyembul keluar dari dalam bagian belakang bodysuit yang dia kenakan. Bunga pernah bercerita jika setiap minggu mereka harus mengenakan kostum dengan bermacam tema yang berbeda-beda.

Malam ini mungkin dia sedang berperan menjadi semacam kucing, yang jelas Bunga terlihat lemas. Aku duduk di sebela Bunga, langsung saja aku sentuh betisnya dengan telunjuk.

“Ah ... Ben, terimakasih sudah berkunjung,” ucap Bunga dengan meniru nada customer service. Aku tersenyum, Bunga bangun dari sofa lalu terduduk dengan menggigit pelan bibirnya. Matanya sayu menyambutku, tidak seperti biasanya.

Mataku mulai memperhatikan sekeliling ruangan, ada Bacardi berdiri kokoh di depanku, masih terisi setengah.

“Gelas bekas kamu yang mana?” tanyaku. “Itu yang ada cherry-nya,” jawab Bunga dengan suara yang sedikit serak.

Aku menuang sisa cairan di gelas itu pada gelas yang lain. Aku tambahkan sebongkah es lalu menuangkan Bacardi ke dalamnya. Aku hirup aromanya, lalu meneguknya perlahan sampai isi gelas habis.

Bunga memperhatikan tanpa ekspresi. Aku menyadari apa yang sedang dia lakukan, “Sorry, haus!” cetusku untuk mengalihkan perhatiannya.

Bunga berdiri lalu merentangkan kaki, sedikit menungging dengan tangan kiri yang dia tempelkan pada meja yang ada di depannya. Bunga mengarahkan tangan kanan kebagian belakang bodysuit yang dia kenakan dan mulai meraba-raba. Bunga merapatkan bibir, matanya terpejam, lalu menarik pangkal buntut itu, matanya terbuka saat benda itu terlepas.

Setelah itu dia merapatkan kembali ritsleting yang terdapat di bagian belakang bodysuit hitam yang menempel sempurna di tubuhnya, Bunga melemparkan benda itu pada permukaan sofa. Benda itu terpetal, lalu tergeletak begitu saja di atas sofa.

Aku hanya pura-pura tidak melihat dengan sok sibuk menuangkan Bacardi untuk kedua kalinya dalam gelas, tapi aku bisa melihat jika buntut itu terlihat sangat realistis dengan bulu-bulu lembut. Pangkalnya berbentuk kerucut dengan ujung yang kuncup.

Lihat selengkapnya