“Walaqad arsalna rusulan min qoblika,“ lisanku melantunkan lagi hafalan yang semalam aku buat.
Selepas subuh lebih tepatnya selesai sholat jamaah aku segera bergegas. Berganti baju, mengenakan rubu dan membersihkan balkon barangkali ada barang tidak sengaja menggantung.
Memastikan semua rapi dan terkendali menjadi salah satu tugas ketua komplek.
Aku sudah mengeluh agar jabatan diambil dengan catatan banyak yang lebih pantas tapi pengurus pusat tidak menerima alasan demikian.
“Nau,” panggil Mbak Ina salah satu pengurus pusat.
Fokusku teralihkan. Aku diam sejenak mencerna keadaan. Apa maksud seorang pengurus ada dihadapanku pagi pagi buta begini.
“Dalem Mbak. Ada apa?.”
“Ke kamarku yuk sebentar. Ada yang mau Mbak omongin.”
Sejenak pembicaraan kami mengundang atensi santri yang lain.
Deg
Mendadak hati dan pikiranku tidak tenang. Rasa itu kembali. Risau dan segelintir rasa aneh muncul kembali.
Aku pegang tangan Mbak Ina kuat “ katakan Mbak, ada apa sebenarnya?.”
Mbak Ina membalas lembut genggaman tanganku “ Mbak nggak tahu apa apa. Jadi kamu lebih baik segera ke kamar mbak.”
Dengan perasaan tidak menentu, aku ayunkan langkah mengikuti Mbak Ina keluar majelis dan menuju kamarnya.
“Naura, sini “ Mbak Khoir mempersilahkan.
“Ada apa Mbak sebenarnya?.”
Mbak Khoir tersenyum “ Naura pulang ya sekarang. Udah dijemput.”
“Hah? Maksudnya gimana?,” tanyaku mendadak lemot.
Mbak Khoir menyentuh tanganku seolah memberi kekuatan “ siap siap ya. Udah dijemput om kamu.”
Aku berusaha kuat menepis pikiran jelek di benakku. Namun sekeras apapun aku berusaha hasilnya nihil.
“Katakan yang sebenarnya Mbak, ada apa?!” nada bicaraku sudah naik satu oktaf.
“Mbak sungguh tidak tahu Nau. Mending kamu naik segera siap siap. Sudah ditunggu om kamu dari tadi.”
Tanpa bertanya lebih karena akan berujung sia sia, aku langsung melangkah. Menaiki anak tangga selangkah demi selangkah.
Entah mengapa satu bulir putih tiba tiba menetes begitu saja. Hatiku sakit dan sesak sekali. Perasaan macam apa itu. Padahal aku belum mengetahui apa alasan dibalik penjemputan dadakan ini.
Aku angkat kursi untuk membantu mengambil tas di rak bagian atas. Berulang kali aku istighfar berusaha menenangkan diri dan menguasainya namun sepertinya belum berhasil.
Tanganku bergetar bukan main ketika hendak membuka lemari baju. Dan untuk kesekian kalinya butiran air mata lolos begitu saja.
“ Ya Allah, Mbak Nau kenapa?,” tanya Hima sepertinya prihatin melihat keadaanku.
Segera ku kuasai diri. Mencoba tersenyum walau sepertinya tidak berhasil.
“ Aku harus pulang Hima,” jelasku.
Dapat aku tangkap rasa keterjutan itu, namun buri buru Hima menyembunyikan dan membantu aku berbenah.
“Semuanya akan baik baik aja Mbak.”
Aku mengangguk dan mengamini dalam hati. Semoga kenyataan memang berjalan demikian.
***
Tanpa berpamitan dengan yang lain aku ayunkan kaki lebih cepat. Sejujurnya aku tidak suka dengan cara berpikir kalut, menebak nebak hingga membuat hati tidak tenang dan banyak berprasangka.
Suasana pesantren pagi ini tertib terkendali. Dapat disimpulkan jika bu nyai sudah rawuh.
Ditambah suara sura lantunan ayat ayat suci al qur’an yang bergemuruh.
“Om Salman “ panggilku.
Sosok pria yang begitu aku kenal berbalik. Sorot mata itu.
“Gimana kabar kamu Naura?.”
Tanganku terulur dan Om Salman membalas kemudian aku cium tempurung tangannya sebagai tanda penghormatan.
“Naura baik alhamdulillah Om. Kenapa menjenguk Naura tumben sekali?.”
Om Salman mengelus lembut pucuk kepalaku yang terbalut hijab “ ayahmu masuk rumah sakit. Katanya kangen, jadi minta Om buat kemari ngajak kamu pulang.”
Tubuhku membeku. Ingatanku melayang mengingat beberapa bulan lalu ayah dan adik keracunan daging kambing. Beruntung adik tidak kenapa- napa namun ayah dibawa ke rumah sakit karena ayah juga memiliki riwayat penyakit diabetes. Tetapi bukan itu poinnya saat kejadian ayah itu ayah, ibu atau yang lainnya tidak menyuruh aku pulang. Namun kali ini?
“ Om tolong jangan bohongi Naura. Ada apa sebenarnya?” firasatku enggan percaya semua hal yang terdengar.
Tangan kekar Om Salman terulur, mengambil alih tas yang aku bawa “ Om berkata sungguh sungguh. Ayo! Teman Om menunggu.”