“Selamat pagi semua,” sapaku melihat keadaan meja makan yang sudah penuh.
“Kebiasaan kalo mau berangkat pasti mepet gini” sahut Kak Imelda.
Tanpa membalas ucapan Kak Imelda, aku mencomot roti tawar yang sudah diberi selai namun sebelum itu aku teguk susu putih hingga tandas “ Nau pamit ya Ayah,Ibu. Ada tugas yang belum selesai soalnya. Oh iya Nau bakal pulang telat. Ada praktikum soalnya.”
“Pelan-pelan Nau. Makan dululah” cegah Ibu.
Aku langsung mencium pipi kanan Ayah dan Ibu “ Nggak sempet. Nau naik taksi aja. Assalamu’alaikum.”
Langkahku tergesa. Padahal aku sudah pasang alarm dengan harapan bisa bangun lebih awal. Namun sepertinya sia-sia.
Netraku tidak pernah luput dari jam tangan yang bertengger di tangan kiri. Berulang kali aku menghentakan kaki menunggu dengan kegelisahan. Berharap taksi yang aku pesan berada di hadapanku.
“Huh” satu kata itu yang mampu keluar tatkala taksi itu sampai.
“Maaf mbak agak telat.”
Aku gunakan seat belt “ Tidak papa Pak. Ayo jalan. Saya sudah telat.”
“Baik mbak.”
Taksi yang aku tumpangi membelah jalanan Bandung. Bergabung dengan kepadatan pagi hari ini.
Bandung nampak ramai. Namun tidak seramai Jakarta dengan segala kesibukannya. Aku suka Bandung terlepas dari baik buruknya. Mungkin karena aku lahir dan besar disini hingga membuatku kian nyaman.
Drrt…drrt
Getaran ponsel di dalam saku baju mengalihkan perhatian. Naren.
“Pak berhenti di depan komplek aja.”
“Iya mbak.”
Tidak selang berapa lama taksi berhenti. Aku mengeluarkan uang dan langsung aku berikan kepada sopir taksi sesuai tarif. Tidak lupa aku bawa jas praktik dan box berisi alat alat yang akan digunakan nanti.
“Makasih Pak” kataku kemudian membuka pintu dan keluar.
Senyumku mengembang begitu mendapati cowok yang sangat aku kenal bersandar di mobil dengan kedua tangan menyilang di depan dada. Narenda Malik. Cowok yang menemani aku, menerima kekuranganku, dan menjagaku selain Ayah.
“Sayang, maaf telat” ujarku begitu dihadapannya.
“Nggak telat. Aku juga baru sampai” jawab Naren kemudian mengambil alih box yang aku pegang. Menaruhnya di jok mobil belakang.
“Ayo masuk. Keburu bel” tambahnya yang tidak lupa membukakan pintu mobil.
Naren adalah kakak tingkatku dua tahun. Sekarang aku kelas sebelas dan Naren sudah menjadi mahasiswa. Aku dan Naren berbeda sekolah dulu. Namun kami kenal karena insiden aku menabraknya saat membawa minum di cafe hingga membuat bajunya basah padahal hari itu dia ada janji bertemu seseorang.
“Sayang, kamu nggak harus jemput aku terus lo. Mana sekolah aku sama kampus kamu itu berlawanan arah” ingatku untuk kesekian kali.
“Salah emang aku jemput pacar sendiri,hm?”
“Nggak gitu. Tapi aku nggak enak ngerepotin kamu terus.”
“Adanya aku di hidupmu itu untuk direpotin. Udah jangan bahas itu mulu. Kalo kamu nggak nyaman anggap saja ini permintaan aku” sahut Naren kemudian mengambil satu tanganku dan mengenggamnya erat.
“Maaf ya masih kaya gini terus. Padahal kita udah jalan segini lama. Tapi aku masih belum ngenalin kamu ke orang tuaku.”
“Aku ga papa. It’s oke. Aku paham. Aku nggak akan maksa untuk hal itu selama kamu ada disini untukku, itu lebih dari cukup. Nanti kalo udah saatnya, kita hadapi bareng semuanya.”
Itu yang aku suka dari Naren. Dia tidak pernah memaksakan sesuatu yang akan membuat aku terbebani. Walau hampir dua tahun ini, Naren sudah banyak bersabar namun aku juga belum bisa bilang ke Ayah dan Ibu jika aku memiliki kekasih. Karena itu sama saja aku mengingkari janji yang aku buat. Dan kemungkinan akan membuat keduanya kecewa.
“Sudah sampai cantik” tangan kiri Naren terulur dan mengelus rambut panjangku yang sengaja aku urai.
“Eh,”
“Setiap ngebahas itu pasti jadi kaya gini.”
“Hee. Maaf. Ya udah aku turun dulu. Makasih sayang.”
Naren mendekat dan memberi sebuah kecupan di pipiku “ Hati-hati. Yang semangat sekolahnya. Biar kita bisa cepet nikah.”
“Diih apaan dah kamu ini.”
***
SMK Dharma Bhakti Bandung. Sekolah menengah kejuruan dengan berbagai jurusan yaitu Farmasi, Keperawatan, Kimia Industri dan Teknik Ototronik. SMK Bhakti Drama merupakan SMK swasta namun kualitasnya sudah tidak diragukan lagi. Banyak lulusan Bhakti Drama yang diterima di Universitas terkenal di segala penjuru Indonesia.
SMK Dharma Bhakti memberikan beberapa fasilitas seperti lab farmasi lengkap dengan peralatan serta bahan obat, lab keperawatan, lab kimia industri dan dua ruang praktek jurusan teknik ototronik. Terdapat perpustakaan, uks dan masih ada fasilitas lain yang menunjang. Meskipun kejuruan dan banyak praktik tetapi SMK Bhakti Drama tetap mengadakan ekskul tentu bagi siswa siswi yang berminat.
“Aku masuk dulu sayang” pamitku setelah keluar dari mobil.
“Iya. Aku langsung pergi ya ada kelas siang soalnya. Kamu baik-baik. Tapi maaf kayaknya aku nggak bisa jemput.”
“Eh nggak papa. Aku juga ada praktik kan pasti lama juga baliknya. Udah sana hati-hati” ujarku kemudian melambaikan tangan begitu Naren melajukan mobil.
Aku melanjutkan kembali langkah yang tertunda. Terlihat suasana sekolah yang kian ramai karena beberapa siswa siswi yang berdatangan. Hingga titik pandangku terhenti begitu sang pemilik netra itu menatapku diam. Alden Damian Ardiaz. Biasa dipanggil Alden. Cowok famous, pintar, cuek dan tentunya tampan. Berbekal kelebihan-kelebihan itu membuat Alden banyak digandrungi cewek-cewek termasuk Dharma Bhakti.
Aku memutus pandang. Walau sedikit ragu namun aku berusaha tidak memperdulikan Alden yang tepat berada di hadapanku. Hingga jarak tinggal beberapa senti dan aku bisa mencium bau parfum yang sangat aku kenal.
“Sampai kapan lo mau diemin gue kaya gini dan menjalani hubungan palsu lo ama Naren” tanya Alden tenang dengan kedua tangan dimasukan saku celana dan pandangan lurus.
Lagi lagi langkahku terhenti. Telingaku masih berfungsi baik dan tiap kata Alden terdengar begitu menusuk. Aku menghela napas berat. Berusaha menahan gejolak emosi tiap kali Alden melontarkan hal yang menggangguku.
“Gue nggak punya waktu buat jawab pertanyaan nggak penting lo itu” jawabku lantas berlalu.
***
Tepat satu tahun lalu sebelum aku mengenal Naren dan menjalin hubungan dengannya, aku terlebih dahulu kenal dengan Alden. Mungkin karena kita satu angkatan terlebih satu sekolah membuat hubungan kita berkembang mengalir begitu saja.
Alden mengenalku dengan baik. Dia tahu banyak tentang aku. Dia tipikal cowok humoris bagi yang mengenal dan cuek bagi yang belum kenal.
Alden selalu menjadi pendengar yang baik, memberi aku semangat tiap kali aku down, tidak jarang mengorbankan waktunya untuk mengajakku jalan dan sekedar menghibur.
Jangan tanya mengapa aku bisa berpacaran dengan Naren mengapa bukan Alden. Karena aku tidak tahu alasannya.
Aku menyukai Alden dengan segala kepribadiannya. Namun aku bukan tipikal cewek yang suka digantung. Tidak diberi penjelasan setiap kali ada kabar datang.
“Lama banget dah lo nyampe kelasnya” ujar Rere sahabatku.
“Macet” balasku asal.
“Napa dah pagi-pagi udah jelek aja tuh muka” tambah Siska mengamati wajahku.
Tanpa membalas lagi, aku pasang earphone ke telinga. Mulai menyalakan lagu dan berusaha melupakan kejadian pagi ini.