Setelah menutup kembali gerbang rumah, aku segera berjalan menuju teras. Aku menemukan ayah tengah santai ditemani kopi hitam favoritnya. Seketika aku melihat pergelangan tangan dan melihat jam berapa sekarang.
‘Jam setengah lima sore. Pantas saja’ gumamku lirih.
“Assalamu’alaikum Ayah,” aku mendekati Ayah dan menyalaminya.
Ayah tersenyum dan mengulurkan tangan untuk aku cium.
“Kopi lagi kopi lagi,” cibir ku akan kebiasaan Ayah dari dulu.
Ayah mengisap kopi hitam yang terlihat sedikit mengepul lalu berujar “ cuma segelas kopi yang bercerita bahwa yang hitam tak selalu kotor,”
“ Dan yang pahit tak selalu menyedihkan,” potong ku akan kata-kata keramat yang bisa Ayah utarakan hingga aku hafal diluar kepala.
“ Haha. Gimana hari ini?” pertanyaan Ayah yang tidak pernah terlewat untuk kita semua tatkala sampai rumah.
“Ya gini Yah. Naura hampir nggak lulus praktik. Gila susah banget. Ayah tahu Naura salah mulu hitung dosis maksimum sampai dimarahi mulu ditambah lupa bawa jas,” ceritaku menggebu.
Ayah menelisik penampilanku “ belajar nggak kamu semalam?”
“Yee si Ayah. Semalam kan Ayah udah ngecek sendiri gimana,” sahutku.
Peraturan rumah. Setiap malam usai sholat maghrib aku, Kak Imelda dan Alvan diwajibkan belajar sampai waktu isya sementara handphone dipegang ibu hingga kami selesai. Dan sesekali Ayah akan memantau dengan mengecek di kamar masing-masing.
Ayah memperlihatkan gigi rapinya “Barangkali pas Ayah sudah pergi, kamu malah tiduran atau main handphone.”
“Ayah,” kataku merajuk.
“Haha,” untuk kesekian kali Ayah tertawa karena berhasil membuat aku kesal.
“Maaf-maaf. Terus itu jas siapa?”
‘Nggak mungkin aku bilang ini jas Alden. Bisa mampus,’ batinku.
“Jas temanku. Kebetulan dia sudah selesai praktik dan beda jurusan. Jadi Naura dipinjami,” jelasku senatural mungkin agar Ayah tidak curiga.
Ayah mengangguk paham.
“Yang lain sudah pada pulang Yah?”buru-buru aku bertanya untuk mengalihkan topik.
“Ibu ada di dalam lagi masak kayanya. Kakakmu ada di kamar kalau Alvan ada ekstra. Kamu masuk gih. Bersih-bersih, makan, terus istirahat.”
“Ini mau masuk. Naura tinggal dulu Yah,” pamitku dan langsung disetujui ayah.
***
Aku melempar tas ke sembarang arah. Membaringkan tubuh ke atas kasur yang terasa sangat empuk tanpa berganti seragam terlebih dahulu. Biarlah dikata jorok. Yang aku tahu hari ini sangat melelahkan.
“Ah. Akhirnya gue bisa rebahan Ya Allah,” ucapku sambil memandangi langit-langit kamar. Bayang-bayang wajah tengil Alden kembali berputar tanpa diminta.
“Sial. Gue kenapa harus inget si! Ini gimana caranya gue kembaliin jasnya,” jengkelku sambil menendang-nendang udara seperti anak kecil yang tidak beri permen.
“Kesurupan lo.”
“Astaghfirullah,” kagetku dan spontan menegakan tubuh saat telingaku menangkap sebuah suara.
“Kak! Bikin kaget aja. Kenapa nggak ketok pintu dulu,” kesalku.
Mempunyai Kakak perempuan memang tidak seindah katanya. Aku dan Kak Imelda contohnya. Bisa dihitung berapa banyak kita akrab. Itupun di momen tertentu.
“Lebay lo. Gue bilangin ibu, kalau lo jorok nggak langsung mandi malah tiduran kaya gitu. Mana masih pake seragam,” ujar Kak Imelda yang terdengar sangat menjengkelkan.
“Dih. Pake ngadu. Gue juga bisa bilang ke Ayah kalau lo bolos kuliah dan jalan sama cowok lo ke mall,” balasku tersenyum puas.
Kak Imelda membulatkan mata sempurna “Dari mana lo tahu?”
Aku kembali merebahkan tubuh “Nggak usah kepo kaya dora Ka.”
Kak Imelda mendengus sebal “ Oke fine!”
“Ngapain Kakak kesini?”
“Oh iya gue lupa. Gue mau pinjem hair dryer.”
“Iya. Ada di meja rias.”
***
Langit berubah warna dari jingga ke hitam. Hari dimana rumah adalah tempat berkumpul ternyaman bagi kebanyakan orang karena bisa merasakan kehangatan keluarga.
Walau tidak sedikit pula yang beranggapan berbeda. Entah karena ketidak harmonisan penghuni di dalamnya atau karena hal lain.
Aku bersyukur walau sering tidak akur dengan Kak Imelda, namun hubungan kita baik. Adu mulut dan saling mengejek hanyalah cara kita untuk menjalin komunikasi dan menyalurkan kepedulian.
Malam ini selepas sholat maghrib dan belajar, kita semua makan malam bersama. Ritual yang tidak boleh terlewatkan. Karena di meja makan kami berkumpul. Meskipun tidak diperkenankan bicara saat makan tetapi setelah aktivitas itu usai akan berlanjut dengan sedikit gurauan atau cerita.
Seperti saat ini. Ayah tengah bercerita momen dimana pertama kali bertemu ibu.
“Jadi gimana Yah ceritanya?” kesalku sedari tadi mendengar jawaban Ayah yang tidak nyambung.
“Haha kepo ya,” lagi-lagi Ayah membual.
“Ayah!” seru kita kompak.
Ibu menggelengkan kepala. Sudah tidak heran dengan kelakuan Ayah yang kadang kala suka menggoda.
“Ibu kalian tuh yang pertama kali suka Ayah. Sampai tergila gila.”
Entah dapat panggilan alam dari mana, tetapi kami bertiga kompak menatap Ibu.
“Yee. Mana ada. Ayah yang ngejar-ngejar Ibu. Mana bohong pakai ngomporin sahabat Ibu segala,” balas Ibu tidak terima.
“Itu namanya strategi Bu. Karena menaklukan hati tidaklah gampang,” bela Ayah untuk diri sendiri.