Aku mendengus sebal usai bertukar pesan dengan Naren. Entah mengapa semenjak dia masuk kuliah, aku merasa ada yang berbeda. Aku tidak menuduh Naren selingkuh atau sesuatu yang buruk lain. Tapi dia terlihat lebih hati-hati dan seperti ada sesuatu yang dia sembunyikan. Entah apa.
“Kenapa Nau?” tanya Rere melihat perubahan wajahku.
Aku meletakan benda pipih itu di atas meja “Biasalah si Naren.”
“Ribut ama dia?”
Aku menggeleng “Nggak. Dia lagi sibuk aja sekarang.”
“Wajar kali mahasiswa baru sibuk. Naren juga harus adaptasi sama dunia barunya,” kata Rere bertopang dagu.
Aku menghela nafas “Aku tahu itu Re. Tapi ah entahlah.”
Rere mengelus lenganku, seolah memberi semangat.
Tiba-tiba saja pikiran itu terlintas tanpa permisi. Padahal kejadian itu telah berlalu.
“Re, gue mau tanya deh,” izinku membuat cewek di sebelahku menaikan kedua alis.
“Apa sih. Lo buat gue parno aja,” ujar Rere antisipasi.
“Nggak usah mikir yang aneh-aneh,” sahutku lantas menyentil jidatnya dan membuat Rere mengaduh.
“Habis tiba-tiba banget kaya gitu.”
Aku memperlihatkan deretan gigi putih “Entah. Gue penasaran aja tiba-tiba.”
“Cepetan mau tanya apa. Keburu Siska balik.”
Siska berpamitan untuk ke toilet. Dan setelah dia datang kita bertiga akan ke kantin karena waktu istirahat akan segera tiba.
“Lo beneran udah nggak suka Alden?”
Sukses. Pertanyaanku sepertinya membuat Rere kaget. Ekspresi sahabatku itu sangat jelas tergambar.
“Nggak lah. Udah lewat dari zaman kapan Nau,” jawabnya enteng.
“Bohongkan lo? Kalo emang udah nggak, kenapa kaget kaya gitu,” bantah aku tidak percaya.
Bukan tanpa sebab aku bertanya demikian. Dulu saat kita kelas sepuluh, lebih tepatnya masa orientasi siswa atau MOS Rere bilang jika dia menyukai siswa baru yang sepertinya satu angkatan.
Rere memberitahuku saat kita di aula namun saat dia menunjuk ke arah yang dimaksud ternyata Alden sudah tidak ada.
Setelah beberapa minggu dan MOS berakhir, Alden mendadak terkenal karena banyaknya kakak kelas yang suka. Dan dari situ pula Rere bilang bahwa cowok yang dia maksud waktu itu adalah Alden.
Rere mengatupkan pipiku dengan kedua tangannya “Gue udah lama move on. Nggak mungkin gue ngerebut cowok yang disukai sahabat gue sendiri. Dan parahnya mereka saling suka.”
Aku melepas paksa tangan Rere “Ngomong apa si lo!”
Rere menatapku malas “Bohong aja terus Nau. Lo bisa bohongin semua orang tapi nggak dengan gue. Kita bukan satu dua tahun kenal kalau lo lupa.”
Benar. Gue melupakan hal itu. Gue lupa jika persahabatan kita sudah sangat lama.
Aku dan Rere kenal dari TK. Kita tumbuh bersama. Banyak hal yang kita lakukan hingga Rere begitu mengenalku dengan berbagai kepribadian yang aku miliki.
Dan hingga semesta menakdirkan kita menyukai cowok yang sama. Tapi aku bersyukur karena Rere tidak membenciku terlepas bagaimana balasan yang dia terima.
Awalnya aku sangat menyesali mengapa demikian. Karena seharusnya Rere yang lebih pantas mengingat dia yang pertama kali kenal dengan Alden.
“Lo beneran nggak mau kasih tau gue, apa alasan lo ngelakuin ini?” sambungnya.
“Laper ya lo? Makin ngaco aja ngomongnya,” ujarku berusaha mengalihkan topik.
“Terus aja Nau. Terus. Gue nggak bakal berhenti buat tanya sama lo soal ini. Walaupun lo nyangkal seribu kali gue juga bakal nanya sebanyak itu.”
***
Weekend. Agendaku sebenarnya dari kemarin adalah malas-malasan. Bangun pagi untuk sholat subuh dan aku berniat akan tidur lagi terus bangun siang. Lanjut nonton drakor sampai malam.
Ini semua adalah serentetan balas dendam yang aku rangkai karena seminggu full lelah dengan rutinitas sekolah terlebih praktik yang hampir membuat otakku meledak.
Jika ingat itu, aku jadi ragu untuk melanjutkan mengambil jurusan yang sama saat kuliah nanti. Aku berfikir jika sewaktu SMK saja sesulit ini apalagi jika kuliah.
Tidak lucu jika aku harus berhenti di tengah jalan dengan alasan tidak sanggup. Apa kata dunia. Terlebih aku pasti akan diejek abis abisan oleh Kak Imelda.
“Males banget gue Ya Allah,” keluhku menyibak selimut.
Kalau bukan karena janjian dengan Naren, aku tidak akan bersusah payah melakukan ini.
Segera aku turun dari ranjang yang
sebelumnya sudah aku bereskan.
“Ah segarnya,” ucapku merasakan sensasi air yang mengenai wajahku.
Setelah beres dengan rutinitas membersihkan badan, aku keluar kamar.
“Sepi amat dah. Ini orang pada kemana?” heran ku melihat sekeliling rumah yang biasanya ramai saat jam-jam segini. Apalagi sekarang weekend.
Karena penasaran, aku melangkahkan kaki ke kamar Kak Imelda “Kak, gue masuk ya?” izinku.
Saat pintu terbuka. Aroma semerbak harum menguar di seluruh indra penciumanku. Aku mendapati Kak Imelda sudah rapi.
“Lo mau kemana Ka?” tanyaku melihat penampilannya dari atas ke bawah.
“Kencanlah. Apalagi,” jawabnya seolah mengejek.
Ayah memang melarang kita pacaran sewaktu SMA, tetapi Ayah memperbolehkan saat kuliah. Aku juga bingung apa bedanya. Bagiku pacaran saat SMA atau saat sudah jadi mahasiswa sama saja.
“Sombong amat lo ka! Awas putus,” candaku yang langsung di hadiahi tatapan tajam.
“Minta dicabein lo!” sarkas Kak Imelda.
Aku nyengir tanpa dosa “Sorry-sorry. Gue mau tanya Kak, Ayah sama Ibu dimana sih. Gue rasa kaya sepi amat dah ini rumah,”
“Lo lupa apa gimana ha? Ayah sama Ibu kan lagi pergi ke rumah eyang. Padahal lo sempat ketemu dan pamitan gue,” sahut Kak Imelda sambil memasukan barang-barang ke tas.
Aku menggaruk rambut yang tidak gatal merasa bodoh dengan pertanyaan sendiri. Sepertinya aku setengah sadar atau bahkan tidak sadar saat bersalaman dengan Ayah dan Ibu “Hee lupa gue.”