Hari Senin adalah hari tersibuk. Terpadat dan termenyebalkan. Bagaimana bisa semua serba macet ditambah upacara yang membuat kita harus panas-panasan.
Tolong bagaimana cara menghilangkan hari Senin di kalender!
Sialnya, hari ini aku telat bangun. Padahal sudah menyalakan alarm semalam. Ini gara-gara Rere dan Siska yang sibuk menggosip dan bodohnya aku malah ikutan.
“Woy! lo gila jam segini baru nongol,” seru Rere yang sepertinya sudah menunggu.
Aku langsung melempar tas asal ke meja. Bodo amatlah isinya juga nggak penting-penting banget.
“Ini gara-gara lo juga,” decakku nggak mau kalah.
Rere memukul lenganku “Lo aja yang kebo. Ayo keburu. Sebelum ketemu Pak Dadang.”
Buru-buru aku meninggalkan kelas. Sebelum dan saat upacara akan ada guru yang patroli untuk memastikan tidak ada siswa siswi yang bolos. Sementara patroli kali ini jadwal Pak Dadang. Guru killer yang tidak segan memberi hukuman yang berat.
Aku menyambar topi di tas dan langsung berlari menuju lapangan bersama Rere.
Di lapangan, entah ada keajaiban atau bagaimana keadaan cukup ramai dengan siswi-siswi yang berjajar membuat barisan.
Aku menatap mereka heran. Apa ada sesuatu yang aku lewatkan sepertinya. Tapi bukankah semalam aku, Rere dan Siska ngobrol lama. Tapi mereka tidak bilang apapun.
Rere menarik tanganku untuk mengikuti langkahnya.
“Mau kemana Re. Sini ajalah. Lumayan ada pohon buat neduh,” kataku menahan. Namun Rere tetap bersikukuh dengan pendiriannya.
Hingga langkahnya berhenti. Dan detik selanjutnya aku baru tahu ternyata dia membawaku ke barisan paling depan setelah sebelumnya menabrak siswi yang lain dan mendapat makian.
“Tumben bener lo mau baris disini,” tanyaku heran mengingat kebiasaan Rere.
Cewek itu hanya nyengir kuda tanpa mau menjelaskan apapun.
Melihat respon Rere yang menyebalkan aku jadi curiga.
Begitu aku membuka mulut, suara lonceng berdentang. Menggema di seluruh sudut sekolah.
Senyum Rere semakin menyebalkan “Tenang aja. Habis ini lo harus berterima kasih ke gue.”
“Apaan sih. Nggak jelas banget lo,” kesalku bercampur bingung.
Aku tidak mengambil pusing ucapan Rere. Pandanganku mengedar kemana-mana, sesekali bersenandung tidak jelas untuk menghalau bosan. Beberapa kali pula Rere mengajak ngobrol hal-hal random bertema seputar lapangan. Seperti ada anak menguap, Si Heri dengan santainya makan lolipop dan yang lainnya.
Sampai pada telingaku mendengar suara gaduh. Teriakan kecil dari anak-anak cewek. Aku tidak mau tahu apa. Penjual batagor yang tiba-tiba lewat merenggut perhatian. Aku membayangkan betapa enaknya selesai upacara menikmatinya ditemani jus alpukat. Apalagi aku belum sempat sarapan dan hanya minum susu sebagai ganjal perut.
“Lo liatin apa si Nau,” tanya Rere mengikuti arah pandangku.
Tanganku naik dan menunjuk arah gerbang “Enak kali Re. Gue pingin banget.”
Rere menepuk kepalanya pelan “Dark tadi lo berdiri kaya orang bego karena liatin batagor,” hardiknya.
Aku mengagguk tanpa dosa “Lah emang kenapa?”
Rere menarik tanganku mendekat dan dengan geramnya dia meraih kepalaku menunjukan sesuatu “Suprise. Moga lo suka sama hadiah gue.”
Detik berlalu dan aku belum menemukan apa yang Rere maksud. Hingga. Mataku membulat sempurna.
“Re,” kalimatku menggantung tetapi gadis itu sudah tersenyum dengan sangat menjengkelkan.
***
Ada Alden disana. Dibarisan para petugas upacara. Lebih tepatnya dia menjadi pemimpin ucapara.
Aku melupakan sesuatu. Di Bhakti Dharma petugas ucapara di koordinir oleh kesiswaan. Diamana setiap Senin harus berganti diurutkan per kelas.
Sudah beberapa Minggu berlalu dan jatah jurusan farmasi telah usai. Dan minggu kemarin mulai petugas dari jurusan kimia industri.
Aku merutuki diri sendiri. Sudah aku coba untuk pindah barisan tapi dengan sengajanya Rere menahan tanganku.
Aku harus bagaimana? Jika tetap disini maka aku akan bertatapan dengan Alden untuk beberapa saat. Posisiku di barisan paling depan dan tepat di tengah.
Ayah! Aku ingin menangis saja rasanya.
“Pemimpin upacara memasuki lapangan upacara,” ujar pembawa acara.
Aku menunduk. Tidak mau terlihat ataupun melihatnya. Sekali lagi, aku bukam membencinya. Alden tidak salah. Harusnya aku yang bisa mengendalikan diri. Berharap padanya selama setahun dengan kelebihan yang dia miliki. Juga jangan lupakan tampangnya yang mendukung.
Ekor mataku melihat Rere yang bergeser pelan “Apa si lo liat dari tadi nunduk mulu.”
“Diem deh lo!” sewot ku.
“Kelakuan lo begini malah bikin kesan seolah lo ada hubungan sama Alden,” katanya berbisik.
“Kesimpulan dari mana lo,” balasku sambil menatap Rere tajam.
Rere tersenyum puas. Sepertinya dia memang sengaja agar aku tidak menunduk terus “Buktiin ama gue. Kalau lo udah nggak suka ama Alden,” tantang Rere kemudian kembali ke tempatnya.
Begitu kalimat Rere berakhir, aku menegak. Tidak peduli akan seperti apa nanti. Yang terpenting aku harus membuat rumor di sekolah redam. Jika terus begini, aku tidak tahu apa yang harus aku jelaskan ke Naren.
“Bodo amatlah soal Alden,” kataku pada diri sendiri.
Sampai aku benar-benar menatap lurus. Hingga.
Deg.
Dengan entengnya Alden menarik kedua bibir saat pandangan kita bertemu.
“Ish. Sial!”
***
“See, gue bener,” Rere tersenyum puas.
Kejadian tadi ternyata bukan cuma aku yang menyadarinya. Banyak dari pasang mata lain yang menyaksikan bagaimana seorang Alden dengan mudahnya tersenyum.