Keesokan hari. Mentari bersinar sebagaimana mestinya. Sinarnya menerobos celah-celah di bumi.
Sisa air hujan semalam menggenang. Dedaunan nampak basah namun terlihat berkilau saat terkena sinar matahari.
Tadi pagi, Ayah mengantarku. Awalnya aku akan naik taksi mengingat Naren tidak bisa mengantar. Aku sama sekali tidak keberatan karena keadaan kami sudah berbeda.
Naren mahasiswa baru dengan segala kesibukannya. Sementara aku juga banyak kegiatan di jam sekolah. Hafalan, praktik dan lainnya.
Semalam kita bertukar kabar dan berjanji ketemu di perpustakaan kota pada sore hari setelah pulang sekolah.
Jujur saja, perkataan Alvan terus berputar di kepalaku. Bagai mesin pemutar musik yang tidak lekas usai.
“Rajin amat lo tumben,” kataku begitu masuk kelas dan mendapati Rere tengah membaca buku.
Rere menoleh, mengangkat satu alis lalu berujar “Lupa kan lo jam pertama ada ulangan biologi?”
Aku menaruh tas diatas meja “Biologi nenek lo! Sekarang hari Selasa bro,” balasku memperlihatkan kalender di handphone.
Rere merampas benda canggih itu. Mungkin memastikan jika aku tidak membohonginya.
“Ya Tuhan!” teriaknya membuat anak-anak yang ada di kelas memperhatikan kita berdua.
“Stt! Suara lo,” buru-buru aku menutup mulut Rere dengan tangan.
Plak
Rere memukul tanganku yang menutupi mulutnya “Tangan lo!”
“Suara lo tuh yang bikin heboh pagi-pagi. Lagian lo ngibul apa gimana? Masa nggak tahu sekarang hari apa. Mana salah jadwal lagi,”ucapku tidak habis pikir sambil duduk disebelahnya.
Rere nyengir kuda “Hee. Gue semalam maraton drakor. Sampai jam tiga pagi. Gila! Mana gue hampir ketahuan mamah,” jelasnya menggebu.
“Lo emang gila! Mana ada maraton drakor dihari aktif,” sahutku.
“Ye! Ini juga salah lo. Weekend gue ajak jalan nggak bisa. Pasti pacarankan lo,” balas Rere tidak mau kalah.
“Dih. Pengalihan topik.”
“Pagi semuanya.”
Aku dan Rere saling pandang. Seperti heran dan berbicara lewat tatapan. Kapan bel? Tiba-tiba guru sudah ada di depan kelas saja.
***
“Naura. Tolong bawa buku paketnya ke meja ibu ya?” pinta Bu Mei.
Kelas hampir selesai sepuluh menit lagi. Mau keberatan tapi di suruh guru. Lagian sekarang aku tidak piket.
“Baik bu,” sanggupku.
Bu Mei merapikan buku yang dibawa. Sementara aku menarik tangan Rere untuk membantu. Meskipun tatapannya menyatakan keberatan aku tidak peduli.
“Ibu cukupkan. Sebelum kelas berakhir apakah ada pertanyaan?”
“Tidak bu!” jawab satu kelas kompak.
Aku dan Rere berdiri. Menarik buku paket dari tiap bangku setelah melihat kode berupa anggukan dari Bu Mei.
“Baik ibu cukupkan. Terima kasih apresiasinya. Minggu depan jika masih ada waktu kita ulangan.”
“Yah!” lagi-lagi satu kelas kompak.