Matahari mulai sedikit demi sedikit bergeser dari posisi semula. Jam sekolah sudah berakhir dari dua jam lalu. Aku sengaja menunggu sekolah sepi karena malas bertemu Alden.
Dugaanku benar jika jam kedua kosong hingga jam terakhir. Suasana kelas jadi tidak kondusif. Entah siapa yang memulai tetapi terdengar dari setiap kelas kericuhan terjadi. Meski sudah diperingatkan beberapa kali namun akan kembali seperti itu. Jangan lupakan dengan Rere yang terus menggodaku terlebih setelah aku bercerita jika Alden dengan kurang ajarnya merebut minumanku dan menghabiskannya seketika.
Perpustakaan daerah merupakan fasilitas umum dari pemerintah yang menunjang harapan agar budaya membaca tidak akan hilang. Ada buku-buku pengetahuan, motivasi, kamus-kamus, literasi, novel dan banyak lagi. Buku-buku tersebut boleh dipinjam dengan ketentuan yang sudah diterapkan.
Ada mushola lengkap dengan tempat wudhu, taman bermain anak, tempat parkir yang luas, tempat baca dan ada air mancur yang dikelilingi tanaman bunga membentuk lingkaran.
Aku mengedarkan pandangan. Mencari sosok yang aku kenal diantara beberapa orang yang memenuhi tempat ini.
Senyumku tercipta tatkala melihat Naren tengah di parkiran. Dia sedang menunduk dengan tangan yang menggenggam ponsel. Aku tebak sebentar lagi benda canggih milikku akan berbunyi.
Satu dua tiga.
Drrt…drrt…drrt
Dengan sengaja aku menolak panggilan Naren. Dapat aku lihat lelaki itu berubah kesal dengan ekspresi di wajahnya.
Pelan-pelan aku melangkah. Berusaha untuk tidak menciptakan kegaduhan atau suara apapun. Hingga.
“Dor!”
“Ya Allah,” kaget Naren yang terlihat sangat lucu bagiku.
“Sayang ih,” sambungnya dilanjutkan dengan menarikku dalam pelukannya.
“Udah lama ya sampainya?” tanyaku disela pelukan.
Naren menggeleng “Baru beberapa menit. Kangen banget aku.”
Entah kebiasaan atau memang gombalan Naren saja. Setiap ketemuan Naren pasti akan bilang kata-kata kangen. Padahal kemarin kita masih sempet ketemu. Bertukar kabar melalui sosial media terkadang kita juga video call.
Setelah beberapa detik di posisi seperti ini, aku melepas pelukan Naren membuat cowok itu melayangkan tatapan protes.
“Kita disini bukan mau bermesraan ya Kak,” jawabku yang hanya dibalas cibiran.
Aku menuntun Naren menuju taman baca. Hanya ada beberapa yang terlihat. Dari kejauhan tampaknya tempat tersebut nyaman.
“Duduk disini,” pintaku dan melepaskan genggaman tangan kita.
“Mau kemana?” tanya Naren menahan pergelangan tanganku.
“Duduk di sana,” tunjuk ku pada kursi di seberang meja yang berhadapan dengan kursi Naren.
Naren tidak menunjukkan tanda-tanda akan melepas pergelangan tanganku.
“Kenapa?”
Tangan kanan Naren menarik kursi di sebelahnya “Disinikan ada kursi. Kenapa pilih yang jauh-jauh,” katanya cemberut.
Aku mengerjapkan mata berulang kali. Astaga. Aku baru sadar jika pacarku sangat menggemaskan.
“Kenapa jadi gemesin begini sih,” ujarku dengan menarik telinganya.
Jika orang-orang gemas lebih memilih pipi untuk ditarik dan mencubit. Aku justru lebih gemas dengan telinga Naren.
Telinga Naren berukuran lebih lebar sedikit. Menurut ku, bentuknya juga lucu. Terlebih saat-saat tertentu warnanya akan berubah memerah.
Kali ini, kedua tanganku yang ditahan.
“Aku punya salah apa sama sayang?”
“Ha?” balasku cengo.
Naren menyentil jidat ku membuatku mengaduh.
Plak.
Kali ini aku memukul keras tangan Naren. Sebagai balasan.
“Dih. Belum nikah udah main KDRT,” kata Naren sambil mengelus tangannya yang terasa panas.
Aku enggan membalas perkataan Naren. Sesaat aku teringat ucapan Alvan. Dan beberapa saat aku tertegun. Menyadari penampilan Naren.
Ini kali pertama aku melihat penampilan Naren untuk kuliah. Terlihat lebih rapi jika dibandingkan kesehariannya yang berantakan namun masih enak dipandang.
Jadwalku dengan Naren selalu berlawanan. Aku berangkat pagi maka Naren akan mengantarku dengan style santai. Celana pendek dan kaos oblong. Pakaian rumahan. Sementara saat ada jadwal pagi, maka Naren tidak akan mengantarku. Selalu begitu.
“Sayang, pinjam tasmu boleh?” izinku dan tanpa banyak bertanya Naren memberikan tasnya.
Saat menerimanya, ternyata lumayan berat untuk ukuran tas yang tidak terlalu besar.
Perlahan aku membuka resleting. Ada laptop. Tanganku terulur dan mengambil buku-buku yang lumayan tebal. Hukum perdata dan hukum pidana. Sekiranya aku tidak terlalu terkejut karena Alvan. Meski tidak terlalu percaya.
“Sayang,” panggilku menggantung sambil menunjukan dua buku.
Naren tersenyum “Aku kira bisa terus menyembunyikannya sampai lulus,” ucap Naren dengan mengambil buku-buku itu lantas memasukan kembali.
“Kenapa? Kenapa memilih jurusan yang tidak kamu suka,” tanyaku mengingat Naren tidak suka hukum.
Naren mengambil tanganku. Memberi kenyamanan “Karena Ayahmu suka.”
Jawaban yang sangat diluar prediksiku. Dan lihatlah betapa mudahnya Naren mengucapkan alasan itu.
“Aku sedang tidak bercanda Kak!”
“Dan akupun demikian. Lihat apakah wajahku tampak seperti bermain-main?” Naren menghembuskan nafas kemudian berucap kembali “Kamu tahu aku sayang banget sama kamu Dek. Sangat. Aku mengandalkanmu dalam hidupku. Semua yang aku lakukan adalah bentuk aku memperjuangkanmu. Sesulit apapun itu. Aku tidak bohong saat kamu bertanya mengapa hukum. Jawabannya demikian. Karena Ayahmu suka. Dan aku berjuang untuk apapun itu.”
“Tapi tidak perlu sampai seperti ini.”
Naren mengusap lembut pipiku “Tidak usah merasa terbebani. Ini kemauanku. Kamu cukup disini. Stay sama aku. Jangan pergi kemanapun walau satu langkah. Oke?”
***
Makin kesini, pengunjung perpustakaan kian bertambah. Aku semakin heran dibuatnya. Bukankah lebih enak pulang terus rebahan. Nonton drama korea, netflix atau hal santai lain yang tidak melulu dengan kata belajar.
Aku dan Naren mengisi waktu dengan bercerita kegiatan masing-masing. Apa saja yang aku lakukan hari ini di sekolah. Naren juga menceritakan bagaimana dunia perkuliahan.
Sungguh tidak jauh berbeda dari perkataan Kak Imelda. Setelah beranjak dewasa dunia tidaklah seindah katanya.
“Lah,” kataku singkat kemudian mulai sibuk meraba sana-sini.
Naren yang tengah membalas pesan seketika menatapku bingung “Kenapa?”
“Kak, kayanya gelangku jatuh deh,” jelasku.
Gelang pemberian almarhum kakek. Salah satu barang berharga yang aku miliki. Walau harga tidak seberapa, tetapi memiliki nilai tidak terhingga. Dan tentu aku sangat menyayanginya.
“Sayang, kamu tunggu disini. Biar aku yang cari. Ini lagi gerimis. Aku nggak mau kamu sakit,” kata Naren berlalu tanpa persetujuanku.
Aku menatap punggung Naren menjauh. Selama itupun aku terus mengingat kiranya kemana. Apa aku lupa atau kesimpulan lain yang bisa aku tarik.
Naren entah kemana, yang jelas dia sudah tidak dapat dijangkau penglihatan.
Hari semakin sore sementara gerimis kian lebat. Aku merasa tidak enak dengan Naren. Cowok itu berusaha keras sedangkan aku malah berteduh walau kepalaku sangat berisik.
Tanpa berpikir lagi aku ikut mencari. Menerobos gerimis sore yang sepertinya awet atau mungkin akan berganti menjadi hujan.
Langkahku menyapu tiap-tiap tempat yang dilewati. Sesekali tanganku meraup mata yang mulai terasa pedas terkena air hujan ditambah angin yang lumayan kencang.
Waktu berlalu tanpa terasa. Aku mulai mencari ke segala arah. Bentuk yang kecil dan cuaca yang tidak mendukung membuat pencarian kian sulit.
“Harus gue cari kemana lagi,” ucapku yang mulai putus asa.
Saat hendak melangkah kembali, aku merasa sebuah genggaman di tangan kananku. Spontan aku menoleh. Naren batinku.
Tanpa aba-aba dia membawaku. Dengan wajah datar dan tanpa berkata apapun.
Tidak selang berapa lama, dia melepas genggamannya tepat di samping perpustakaan yang jaraknya dekat taman. Mataku tak lepas dari setiap hal kecil yang dia perbuat. Aku merasa jika Naren marah. Hubungan kami yang lumayan lama membuatku agak paham setiap perubahan Naren. Baik sifat, kebiasaan dan ekspresi.
Cowok di sampingku merogoh saku celana. Menarik tangan kananku.
“Kak! Kamu nemu dimana? Makasih,” kataku girang.
Namun semenit berikutnya cowok itu tetap diam. Tanpa berniat membuka mulut sama sekali bahkan untuk menanggapi obrolan. Sikapnya semakin menyakinkan penilaianku jika Naren marah.
“Kak,” panggilku seraya mendekat.
Naren tidak bergeming. Pandangannya lurus. Menatap gerimis yang kian reda.
Aku mengguncang lengannya. Merengek seperti anak kecil. Biarlah orang beranggapan bagaimana. Yang aku tahu Naren tengah marah dan aku belum bisa menemukan alasan dibalik itu.
“Kamu marah Kak?” tanyaku sambil berjongkok di depannya dengan dagu bersandar di salah satu paha Naren.
“Maaf kalau aku salah,” lanjutku membuat ekspresi memelas.
“Huh,” Naren menghela nafas.
Tangan kanannya mengelus lembut rambutku yang lumayan basah. Sementara tangan kirinya menggenggam tangan kananku.
“Tadi aku pesan apa ke kamu?” tanya Naren lembut.
“Nggak boleh kemana-mana,” cicitku.
“Terus kenapa malah ngelanggar hm?”