Hari-hari berlalu begitu cepat. Aku mencoba memperbaiki diri dengan meyakini jika pilihan masuk farmasi tidaklah salah.
Bukankah tidak ada yang instan di dunia ini. Jika mie instan saja harus mengalami tahap pemilihan bahan, pembuatan hingga tahap pengemasan apalagi hidup kita yang bahkan tidak ada kata instan dibelakangnya.
Dan hal yang paling penting adalah aku harus bertanggung jawab atas jalan yang aku pilih. Bersama keluarga dan orang-orang terdekat aku yakin semua akan baik-baik saja.
Walau aku tahu didepan sana masih banyak rintangan tetapi aku punya keluarga. Aku punya rumah untuk pulang dan bersandar tatkala aku lelah.
“Aku masuk dulu Kak,” pamit ku pada Naren saat kita sampai di sekolah.
Naren menatapku lembut. Tangannya terulur dan mengelus pucuk kepala ku “Semangat belajarnya. Nanti aku jemput kita jalan-jalan.”
“Loh. Kamu nggak ada kelas Ka?”
Naren menggeleng “Hari ini aku punya waktu full buat kamu. “
Aku menarik kedua ujung bibir membentuk lekungan “Harusnya kalau ada waktu buat istirahat aja Ka.”
“Pengennya kaya gitu. Tapi otakku nggak bisa diajak kerjasama kalau nggak mikirin kamu.”
Aku tersipu kemudian mengarahkan jari-jari tangan untuk menggelitik Naren “Siapa yang ngajarin cowok gue.”
Beberapa saat terdengar suara tawa. Aku mengamati Naren yang terlihat sangat bahagia.
Cowok itu berhenti tertawa saat melihat aku terdiam dan mengamatinya lekat “Ada sesuatu di wajahku ya?” tanyanya sambil menggerakkan tangan ke seluruh wajah.
“Kakak kelihatan bahagia banget. Ketawanya sampai lepas gitu,”kataku jujur.
Kali ini Naren tidak mengelus pucuk kepala ku tapi berganti menarikku dalam pelukannya “Kamu bisa lihat betapa bahagianya aku saat ada kamu, jadi kelak jika ada hal sekecil atau sebesar apapun yang terjadi dengan hubungan kita tolong jangan ambil keputusan untuk berhenti. Kita bisa lalu apapun sama-sama. Oke? “
Aku mengangguk walau ragu. Aku tidak akan tahu apa yang terjadi dengan hubungan ini. Bagaimana kelanjutannya karena aku masih anak SMA. Kebahagiaan ku hanya semacam aku punya keluarga lengkap, harmonis dan pacar yang sayang padaku.
Jika ditanya soal keseriusan aku sungguh tidak tahu bahkan belum berfikir ke arah situ.
“Aku masuk dulu ya Kak,” izinku pada Naren.
“Iya. Baik-baik sekolahnya. Sudah harus lebih serius karena mau naik kelas dua belas,” pesannya.
“Iya,” jawabku dan setelahnya langsung meraih membuka pintu mobil lantas bergegas keluar.
***
Suasana sekolah pagi ini masih lumayan sepi. Aku sengaja berangkat lebih awal karena ada pekerjaan rumah yang belum selesai.
“Ikut gue! “
Aku terkejut saat tangan kananku digenggam erat dan rasa keterkejutan bertambah saat tahu siapa sosok dibaliknya.
“Al. Lo ngapain narik tangan gue kaya gini! Lepasin!”
Benar. Dia Alden. Beberapa waktu lalu aku benar-benar menghindar darinya.
Tidak membalas pesan. Menghindarinya. Tidak menuju tempat-tempat yang biasa dia datangi. Aku juga lebih suka nitip makanan pada Rere atau Siska.
Setelah aku memikirkan baik-baik. Merenungi semua perlakuan Naren dan apa saja yang dia perjuangkan selama ini untuk hubungan kita, aku sadar jika aku salah.
Aku memang masih suka dengan Alden. Tapi aku nyaman bersama Naren. Dia cowok yang baik. Banyak hal yang sudah dia perjuangkan buat hubungan kita. Dan dia tidak pernah komplain apapun sekalipun soal hubungan kita yang tidak diketahui kedua orang tuaku.
Dari semua itu aku merasa bersalah. Aku merasa sudah menghianatinya karena terkadang masih berhubungan dengan Alden dibelakang Naren. Walau sebatas membalas pesan.
“Alden! Lepasin tangan gue! “ berontak ku namun hanya dianggap angin lalu.
Cowok disampingku seolah menulikan pendengaran. Dari ekspresinya aku bisa mengambil kesimpulan jika dia tengah menahan amarah.
Karena percuma memberontak dan membuat tanganku makin sakit, akhirnya aku pasrah.
Alden membawaku melewati koridor hingga langkahnya menuntunku melewati lorong dan anak tangga yang mengarah ke rooftop.
Beberapa saat setelah itu akhirnya Alden melepaskan genggaman tangannya.
Rooftop terlihat sangat sepi. Tidak ada apapun disini kecuali sofa berwarna abu yang terlihat cukup usang dan biasa digunakan siswa siswi untuk tiduran saat membolos. Ada lorong kecil yang entah digunakan untuk apa.
Angin pagi terasa cukup kencang hingga menerbangkan rambutku yang sengaja aku gerai.
“Kenapa menghindar? “ tanya Alden datar.
Sudah aku duga kalimat itu akan terucap dari mulut Alden.
“Perasaan lo aja kali,” jawabku tanpa menatapnya.
Alden berdecak “Lo pikir gue nggak tahu. Sampai kapan lo bakal giniin gue Nau? “
“Sampai kapan kata lo? Lo nyalahin gue atas semua perubahan yang terjadi sama kita. Gila lo? “
“Gue nggak menyalahkan lo. Tapi tolonglah jangan kaya gini.” Alden terlihat lelah.
“Kasih tahu gue, sebenarnya gue salah apa sampai lo mutusin buat ngejauh dari gue dan pacaran sama Naren?” sambungnya.
“Lo tahu Naren?”
“Dia sempet nyamperin gue saat gue nongkrong di cafe bareng yang lain. Dia ngajak gue bicara berdua. Dia bilang kalau dia pacar lo.” jelasnya.
Aku terperangah mendengar penjelasan Alden. Aku tidak menyangka jika Naren bisa bertindak demikian.
“Kita jalan masing-masing Al. Gue punya Naren sekarang,”kataku berat mengingat seberapa besar aku menyukainya.
“Nau! Lo nggak bisa giniin gue,” balas Alden lirih.
“Maaf.”
***