Hari ini sungguh luar biasa. Full mikir dan pusing. Tetapi aku puas.
Kerja keras semalam membuahkan hasil. Aku bisa dengan mudah mengerjakan laporan resep, satu kali acc dan membuat sediaan salep tepat waktu.
Tidak apalah banyak berkorban asal hasilnya setara atau lebih membahagiakan.
Aku melihat jam yang bertengger manis di tangan. Sudah cukup lama aku menunggu Naren. Dia berniat menjemputku.
Karena belum juga kelihatan batang hidungnya aku memutuskan untuk membeli minuman di kantin. Sementara Rere dan Siska sudah beranjak dari sekolah sekitar dua puluh menit lalu.
“Ah segarnya,” ucapku saat merasa sejuk di tenggorokan usai minum es teh.
Sekali lagi aku mengedarkan pandang. Barangkali Naren menghampiriku. Tetapi justru hal sebaliknya.
Bukan Naren. Justru aku melihat Alden tengah mengobrol santai dengan Siska. Terlihat sangat akrab.
Aku merasa aneh. Sebab Siska tidak pernah sekalipun membahas Alden. Tetapi ini?
Drrt… drrt
Getaran ponsel mengalihkan perhatian. Aku lupa jika benda pipih milikku masih mode getar. Aku sengaja merubahnya sebelum praktikum agar tidak mengganggu.
Naren.
“Hallo. Sudah sampai Kak?” jawabku.
“Oke. Aku kesana sekarang,” aku menutup telfon.
Sebelum beranjak, aku sempatkan melihat Alden dan Siska. Entah. Ada rasa nyeri yang mendadak aku rasa.
Segera aku mengalihkan pandang dan bergegas menemui Naren di gerbang sekolah.
***
Dari kejauhan, aku bisa menebak jika gestur tubuh itu adalah Naren. Walau dia membelakangi ku.
Samar-samar terlihat jika Naren gelisah. Mungkin karena dia telat dan takut aku marah.
“Kak! “ kataku cukup keras untuk menarik perhatiannya.
Dan betul saja, cowok itu mendekat. Ekspresinya jelas menggambarkan jika dia khawatir.
“Sayang maaf. Nunggu lama. Aku telat banget,” balasnya yang langsung membawaku dalam pelukan.
Ada rasa nyaman sekaligus aman setiap aku dekat dengan Naren. Tetapi rasa ini berbeda jika aku bersama Alden.
“Ih nggak papa. Aku malah makasih sudah nyempetin buat jemput. Harusnya tadi bilang aja kalau dosennya belum keluar. Aku bisa pulang naik taksi,” ujarku sambil melepas pelukan Naren.
Cowok itu menatapku lekat “Nggak marah kan?”
“Nggak sayang. Aku paham kesibukanmu.”
Naren merapikan rambutku. Membawa tiap-tiap helai rambut yang menutupi wajah ke belakang telinga.
“Kamu tahu, salah satu hal yang membuatku sayang banget sama kamu?”
Aku mengedikkan bahu “Nggak.”
Telunjuk kanan Naren mencolek hidung ku “Karena kamu selalu bisa ngertiin kamu dan tidak pernah menuntut hal-hal yang menyulitkan. Makasih ya?”
Aku mengangguk “Sama-sama. Ayo cari makan sebelum pulang. Aku lapar banget udahan, “ cengir ku dan langsung disambut tawa oleh Naren.
***
Mobil sedan milik Naren mulai meninggalkan kawasan sekolah. Matahari mulai beranjak dari arah timur ke barat.
Jalanan mulai ramai dengan kendaraan pribadi maupun umum. Yang mana sudah jelas tujuannya adalah rumah.
Perhatianku tersita pada gantungan mobil yang Naren pajang. Aku ingat betul, itu adalah gantungan yang aku kasih ke Naren. Mungkin sudah hampir satu tahun.
Aku senang karena Naren selalu bisa menghargai barang-barang yang aku kasih. Sekecil apapun itu.
“Kenapa senyum-senyum kaya gitu? “ tanya Naren sambil mengelus lembut pipi kananku dengan tangan kirinya.
“Nggak papa. Aku terharu lo kamu masih nyimpen ini. Padahal udah lumayan jelek,” sahut ku tanpa menutupi apapun.
Naren mengambil tangan kananku dan menggenggam erat.
“Karena itu dari kamu jadi aku suka,” balesnya yang terdengar tulus.
Aku memukul lengan Naren “Halah gombal.”
Jika seperti ini terus lama-lama bisa ambyar aku. Kenapa mulut cowok manis banget sih. Kalau seperti ini kan meresahkan.
“Serius. Jadi mau makan apa kamu?”
“Makan yang pedas-pedas enak kayaknya,” saranku dan langsung mendapat sentilan di kening.
“Sayang!” rengekku tidak terima.
“Pedas terus ih. Nggak ingat waktu itu nangis-nangis karena sakit perut. Telpon malam-malam bikin orang panik,” sahut Naren membuatku kesal.
“Oh jadi nggak ikhlas nih. Ya maaf-maaf kalau mengganggu.”
Naren gelagapan. Cowok itu panik sesaat setelah sadar jika perkataannya salah.
“Eh. Sayang nggak gitu,” ujar cowok itu dan berusaha meraih tanganku.
“Nggak usah sok peduli,” jawabku menepis tangan Naren.
Naren mengerang frustasi. Tiba-tiba dia menepikan mobil.
Aku tahu gelagat ini. Dia pasti akan membujukku agar tidak lagi marah.
Satu. Dua. Tiga.