Waktu berlalu begitu cepat. Bulan telah berganti.
Sekarang aku sudah memasuki semester akhir. Yang artinya sebentar lagi naik kelas dua belas. Banyak hal yang aku pertimbangan kan termasuk hubunganku dengan Naren.
Dua Minggu lalu, aku berkenalan dengan dua adik Naren Genta dan Ayu namanya.
Genta sudah kelas tiga SMP sementara Ayu masih SD kelas satu.
Keduanya baik dan menyambutku dengan penuh perhatian. Dan saat itu pula aku tertegun.
Naren memperkenalkan aku kepada orang-orang terdekatnya. Dia seolah menunjukkan bahwa dia benar-benar serius padaku.
Beberapa kali Naren berkata jika dia ingin serius dengan hubungan ini. Dia bilang keberadaanku sudah cukup dan dia bahagia saat kita bersama.
Berbeda denganku yang belum terlalu memikirkan ke arah sana. Aku masih mau kuliah. Bekerja dan melakukan semua hal yang belum mampu aku wujudkan sekarang.
Tetapi waktu kian berkata bahwa menemukan orang yang tulus itu tidaklah mudah. Dan aku mengakui bahwa aku mulai terbiasa dengan Naren.
Mulai detik ini pula aku memikirkan bagaimana cara yang tepat untuk memberi tahu Ayah dan Ibu mengenai keberadaan Naren di hidupku.
***
Pagi ini, SMA Dharma Bhakti terdengar lebih banyak suara dibandingkan biasanya.
Jika sebelumnya terlihat lebih hening untuk ukuran pagi hari, maka hari ini justru sebaliknya. Suara bisik-bisik dari siswi dan diiringi teriakan yang cukup terdengar hingga gerbang sekolah.
Aku memegang knop pintu mobil bersiap keluar “Sayang, aku keluar,” pamit ku pada Naren.
Naren menarikku dalam pelukannya. Mengecup lama keningku “Selamat belajar ya. Nanti kalau aku sempat, aku bakal jemput kamu, “ ujarnya dan mengelus lembut pipi kananku.
“Iya. Kamu hati-hati. Aku masuk dulu,” pamit ku bergegas keluar.
“Aku pergi kalau kamu sudah masuk. Kabarin kalau ada apa-apa ya sayang,” pesan Naren.
“Pasti. Aku tinggal dulu. Bye. “
Aku melangkah memasuki kawasan sekolah. Sebelum masuk lebih dalam, aku menoleh memastikan Naren sudah pergi atau belum. Dan ternyata sudah.
Aku berjalan santai. Karena hari ini waktu lumayan tersisa banyak sebelum bel masuk berbunyi.
Tetapi setiap aku berpapasan dengan anak-anak lain, merasa seolah menatapku tidak biasa. Membuatku sejenak terdiam.
Berarti suara ricuh yang aku dengar dari luar gerbang itu betulan. Bukan karena aku salah dengar.
Aku mencoba mengabaikan mereka semua. Biarlah. Lagian aku tidak merugikan siapapun dan berbuat kesalahan.
“Naura! Naura! “ Rere berteriak heboh dan mendekat.
Aku yang hendak melanjutkan langkah pun menoleh.
“Apa? “
Rere masih ngos-ngosan dan mengatur napasnya.
“I- itu pacar lo… “ ujar Rere terputus-putus.
“Naren maksud lo? “
“Eh. Maksud gue Alden,” kata Rere kikuk setelah menyadari kebodohannya.
Aku meraih tangan Rere “ Mending kita ke kelas yuk,” ajak ku tidak ingin mendengar apapun soal Alden.
“Tapi Nau, lo harus dengar kalau… “
“Naura!”
Aku menoleh sepenuhnya saat mendengar namaku disebut.
Aku membeku dan merasa seakan waktu berhenti. Siska dan Alden.
Pandanganku jatuh pada tangan Siska yang mengapit erat lengan Alden. Seperti tidak mau lepas.
Siska mendekat dengan posisi yang sama. Mengapit lengan Alden erat. Entahlah aku merasa cewek ini tengah memberi tahu satu sekolah tentang kedekatannya dengan pangeran sekolah Dharma Bhakti.
“Pagi Naura. Pagi Re,” sapanya sumringah.
“Pagi Sis,” balasku dan Rere serempak.
Mendadak atmosfer terasa begitu mencengkram. Beberapa siswi yang lewat pun ikut memperhatikan interaksi kami. Tidak jarang pula yang berbisik-bisik entah apa. Aku tidak bisa mendengarnya dengan jelas.
Fokusku teralihkan kepada Alden. Cowok itu tampak tidak nyaman namun berusaha menahan. Hingga detik selanjutnya tatapan kita bertemu seolah berbicara tanpa kata. Sampai akhirnya suara Siska memutus kontak mata antara aku dan Alden.
“Girls kenalin cowok gue, “ ujar Siska membuat ku dan beberapa anak-anak disitu kaget bukan main.
***
Berita Siska berpacaran dengan Alden menjadi trending topik di Dharma Bhakti. Ada yang mendukung dan banyak pula yang tidak setuju.
Bahkan ada yang bilang jika Siska cewek murahan karena merebut Alden dariku.
Satu hal yang aku sadari, jika berurusan dengan pangeran sekolah maka harus siap menjadi pusat perhatian. Bergerak sedikit bisa mengundang kehebohan satu sekolah.
Jam pertama free class, guru- guru tengah rapat dadakan mungkin berkaitan dengan ulang tahun sekolah.
Dan seperti biasa jika kelas kosong begini, keadaannya sungguh kacau.
“Gue nggak habis pikir sama Siska, bisa-bisanya dia macarin Alden. Padahal dia temen lo,” ujar Rere menggebu-gebu tidak terima dengan kenyataan yang baru disaksikan dengan mata kepalanya sendiri dan sudah pasti Rere berani berkata demikian saat Siska tidak bersama kita.
Sejujurnya aku juga tidak menyangka. Mengapa harus Siska yang dipilih Alden diantara banyaknya perempuan di sekolah ini.
Rere menatapku lekat “ Lo sebelumnya ada ngerasa nggak kalau Siska naksir Alden? “
Aku menggelang. Setiap aku cerita mengenai Alden kepada Siska, dia hanya merespon seperlunya. Bahkan cenderung abai.
“Fixs kata gue. Jika sebenarnya Siska diam-diam suka sama Alden,” putus Rere entah dari sudut pandang mana.
Aku mengambil earphone dan hendak memakainya tetapi terhenti karena Rere menahan pergerakan ku.
“Apa? “ tanyaku galak.
Sebenarnya aku jengah mendengar setiap orang membicarakan Alden dan Siska. Baik di kelas, luar kelas, toilet dan semua tempat yang aku datangi pagi ini. Semua tentang Alden.
“Gue lagi ngomong sama lo ya Maemunah,” sewot Rere.
Aku melepas tangan Rere yang memegang earphone milikku “Kayak lo dulu nggak pernah naksir Alden aja, “ balas ku tepat di telinga Rere.
“Sialan! “
***
“Assalamu'alaikum. Naura pulang,” kataku saat membuka pintu rumah.
Lelah sekali hari ini. Padahal tidak sepenuhnya guru masuk kelas. Dan banyak jam kosong.
Bohong jika aku bilang baik-baik saja. Yang aku lakukan saat ini adalah bermain peran secara profesional tanpa ada yang curiga bahwa Alden masih bertahta di dalam hatiku.
Bukankah setiap makhluk hidup di dunia ini selalu melakukan kebohongan?
Berbicara jika dia baik-baik saja padahal dia terluka. Bilang bahwa dia kuat tetapi kenyataannya dia rapuh.
Dan aku hanya satu dari banyak orang yang memilih aman tanpa mau terluka lebih parah.
“ Wa’alaikumsalam. Eh anak Ibu sudah pulang,” sambut Ibu dari arah dapur.