Aku adalah tipikal cewek yang tidak suka membuat keributan dan sensasi apapun. Dulu kedekatan ku dengan Alden pure karena ketidaksengajaan yang berujung kita nyambung, saling tukar kabar dan dekat. Aku pun tidak tahu jika Alden dinobatkan sebagai salah satu most wanted Dharma Bhakti sehingga kehidupanku mendadak jadi perhatian banyak orang termasuk fans-fans Alden.
Setelah pembicaraan tidak penting menurutku dengan Siska, aku memutuskan untuk memblokir semua sosial media dan nomor Alden bahkan menghapusnya. Katakanlah aku egois atau kejam karena berbuat hal demikian. Tetapi aku sudah tidak tahu harus bagaimana, Siska berpikir aku hendak merebut Alden. Sementara Alden dengan terang-terangan bilang masih suka padaku. Namun hal jauh lebih penting, aku sudah memiliki Naren.
Beberapa hari kemarin aku benar-benar menghindari Alden. Tidak mengunjungi semua tempat yang biasa dia datangi. Datang ke sekolah lebih awal atau lebih akhir dari dia.
Jika tidak sengaja berpapasan, aku akan berbalik dan mencari jalan lain. Semua hal yang aku lakukan jelas untuk menciptakan titik aman.
Bukan aku takut kepada Siska. Tetapi aku hanya tidak mau ribut gara-gara cowok. Apalagi aku dan Siska pernah dekat sebelumnya.
“Nau! “
Aku yang tengah menyelesaikan catatan lantas mengangkat kepala “Apa lo?” balas ku galak.
Aga menarik kursi di depanku dan menduduki dengan posisi dia menghadap ke arahku.
“Nggak boleh galak-galak sama orang ganteng. Entar naksir, “ jawabnya tengil seperti biasa.
Aku memutar bola mata malas “ Kalau lo mau nanya soal Dian, gue lagi nggak ada info apapun. Lagian gue juga udah bilang nggak mau ikut campur lagi sama asmara lo yang nggak jelas itu. “
“Dih, ko lo malah ngatain gue,” ujar Aga dan tiba-tiba mendekatkan wajahnya membuatku menarik kepalaku ke belakang.
“PMS ya lo?” tebaknya dengan raut wajah serius.
Cetak!
Bunyi pulpenku yang sengaja aku pukul ke kepala Aga dan membuat cowok itu mengaduh.
“Aw! Sadis banget sih lo jadi cewek,” protesnya sambil mengusap-usap bagian kepala bekas pukulan barusan.
“Nggak usah lebay lo nyet! “ kataku mengingat jika cowok dihadapanku suka berantem.
Aku berniat untuk kembali menulis, tetapi Aga dengan sengaja merebut bukuku dan mengangkatnya tinggi-tinggi.
“Aga! Males ah gue sama lo,” ucapku membiarkannya bertingkah sesuka hati sementara aku keluar dari kelas.
***
Sudah satu jam sejak pulang sekolah namun aku masih betah di kamar sambil menonton drakor.
Drama Korea merupakan salah satu hiburan di tengah suntuk dan pusingnya menjalani kehidupan nyata.
Kadang ikutan tertawa atau menangis jika alurnya relate dengan kejadian yang pernah dialami penonton.
“Sayang.”
Fokusku beralih ke arah pintu kamar yang menampakkan seorang laki-laki paruh baya.
“Iya Yah,” jawabku memperhatikan Ayah sepenuhnya.
“Naura nggak ada kegiatan kan sekarang?” tanya Ayah.
“Nggak Yah. Ada yang bisa Naura bantu? “
“Temani Ayah jalan-jalan sore yuk,”ajak Ayah yang membuatku heran namun tetap menurut.
***
Ini baru pertama kalinya aku jalan-jalan di komplek dan aku cukup terkejut jika suasana komplek pada sore hari sangat indah.
Rutinitasku setiap hari seperti anak sekolah pada umumnya. Berangkat pagi dan pulang sore. Sibuk dengan hari-hari sebagai seorang siswi. Dan bila ada waktu libur seperti weekend atau tanggal merah, aku gunakan untuk santai di rumah. Malas-malasan, nonton drama Korea atau pergi keluar bersama Naren juga Rere.
Tetapi sekarang aku benar-benar takjub dibuatnya.
Nuansa perumahan yang kental, aneka pepohonan dengan berbagai jenis yang aku sendiri tidak tahu namanya apa. Ada sedikit banyak bunga-bunga yang sepertinya sengaja ditanam di luar pagar oleh pemilik rumah dan dominan adalah bunga mawar. Dan yang membuat pemandangan bertambah indah yaitu adanya sinar senja yang mengintip di sela-sela pepohonan.
Ada satu hal yang baru aku ketahui ternyata orang-orang di komplek banyak pula yang menikmati nuansa sore hari. Terbukti banyaknya anak-anak yang bermain bola, seorang ayah dengan anak balitanya, dan juga tampak beberapa orang yang jogging.
“Indah banget ya Yah,” ucapku takjub pada Ayah.
Ini benar-benar pemandangan yang sering aku lihat dilukiskan. Ternyata inspirasi alam benar adanya.
“Memang indah. Makannya Ayah ajak kamu kesini. Hidup ko betah banget di kamar sama drakor, “ balas Ayah yang aku yakin akhir perkataannya adalah sindiran.
Aku mengerucutkan bibir “Namanya juga anak muda. Lagian waktuku habis di sekolah Ayah,” ujarku membela diri.
“Bisa aja kalau ngeles,” kata Ayah tetap berjalan.
“Ish, Ayah mah gitu! “
Aku dan Ayah berjalan beriringan. Sesekali Ayah menyapa tetangga dan beberapa orang yang berlalu lalang. Sementara aku hanya tersenyum karena tidak tahu harus berkata apa.
“Kalau Ayah nggak salah tiga Minggu lagi kamu ujian semester akhir kan? “ tanya Ayah sambil terus berjalan mengikuti jalan yang terbentang lurus entah dimana ujungnya.
Aku mengangguk “ Iya. Cepat banget kan Yah. Nggak terasa aku sudah mau kelas dua belas,” sahutku memang tidak menyangka jika waktu berlalu begitu cepat.
Ayah mengangguk setuju “Bahkan Ayah juga tidak menyangka jika putri kecil Ayah sudah sebesar ini.”
“Jadi besar enak nggak sih Yah? Kadang aku suka pingin lihat orang-orang belanja pakai uang sendiri. Liburan kesana-sini,” ucapku menerawang kehidupan orang lain yang aku lihat.
Ayah mengusap pucuk kepala ku lembut “Ada harga yang harus dibayar kalau kamu mau dapat kehidupan kaya mereka.”
“Maksudnya? “
“Kamu harus siap susah terlebih dahulu sebelum menikmati kelezatan madu.”
“Ah Ayah! Jangan main tebak-tebakan lah. Mana aku tahu peribahasa seperti itu. Ayah lupa aku ini anak farmasi,” balas ku merenggut.