Weekend kita jalan. Bisakan? “ tanya Naren matanya terpancar harapan.
Sebenarnya aku lumayan ragu tetapi melihat tatapan itu, aku tidak tega untuk menolak.
“Aku nggak janji, tapi aku usahain. Nggak papakan?” tanyaku memastikan.
“Hm, oke. Yang penting ngabarin jangan kaya kemarin,” tutur Naren sambil mencolek hidung ku.
“Siap komandan!” sanggup ku ala-ala tentara.
Mataku mengedar pandang saat mobil Naren sampai di depan sekolah. Tiba-tiba saja aku terbesit ide gila. Dan aku membutuhkan bantuan Rere.
“Kak, aku turun. Kamu hati-hati di jalan,” kataku bersiap akan turun tetapi tertahan saat Naren memegang tanganku.
“Ada yang ketinggalan,” ujarnya membuatku berpikir dan melihat sekeliling termasuk jok belakang.
“Apa? Perasaan nggak deh. Aku… “
Cup.
Mataku membulat sempurna mendapat serangan dadakan, sementara sang pelaku justru senyum-senyum tidak jelas.
“Kak!” pekik ku.
“Apa sih manggil-manggil. Mau lagi? “ ujarnya mendekatkan wajah ke arahku dan tanpa permisi aku keluar terburu-buru.
“Semangat belajarnya nggak usah aneh-aneh,” teriak Naren disusul tawa yang masih bisa aku dengar.
Aku berjalan menatap lurus tanpa mau memastikan apakah Naren sudah pergi atau belum.
“Re! “ panggil aku mendapati cewek itu berjalan keluar dari tempat parkir.
Rere berhenti saat dia mengetahui aku yang memanggil, Rere melambaikan tangan menyapa balik dan memberi isyarat agar aku berjalan lebih cepat.
“Aish! Capeknya gue,” kataku ngos-ngosan.
“Lebay banget sih lo. Ini masih pagi,” balas Rere menatap ku.
“Ya ampun! Kusut amat muka lo,” lanjutnya keras membuat beberapa orang ikut memperhatikan.
Aku menutup mulut Rere dengan telapak tangan “Udah gue bilang, nggak usah pake urat kalau ngomong. Suara lo ngalahin toa masjid.”
Rere manggut-manggut dan setelahnya aku melepaskan tanganku dari mulutnya.
Cewek itu meraup banyak oksigen. Lebay sekali memang. Padahal aku membekap mulutnya saja sebentar.
“Re, tolongin gue dong,” Rere memutar bola mata malas. Dia tahu betul jika aku menggunakan kata tolong pasti ada hal aneh yang aku lakukan.
“Kali ini apalagi?” tanya nya tidak minat.
Aku meraih lengan Rere bergelut manja “Janji dulu mau bantu? “
“Iya oke! Jadi apa yang bisa saya bantu tuan putri?”
Aku menceritakan semua kejadian yang aku alami saat bersama Ayah kemarin sore hingga malam hari begadang dengan Kak Imelda.
“Ya udah kalau udah kayak gini putusin ajalah,” ucap Rere tanpa beban.
Aku mencubit lengannya, saking gemesnya “Lo bisa nggak sih jangan asal ceplos aja.”
Rere melihat bekas cubitan yang memerah, mengusap-usapnya “Lo juga bisa nggak jangan KDRT! “
“Ya maaf. Lo dulu yang ngeselin,” kataku tidak mau disalahkan sepenuhnya.
“Ya lo harusnya sudah tahu kalau hubungan lo nggak mungkin bertahan. Jangan bodoh lah! “
“Ko lo nyolot gitu ngomongnya? “
Rere terdiam. Mungkin dia tidak sadar bila nada bicaranya naik satu oktaf “Sorry Nau. Gue nggak maksud gitu,” sesal nya.
Aku menepuk pelan tangan Rere “Tenang aja, gue tau lo bersikap demikian karena tidak mau gue sedih.”
***
“Pak! “ panggil Rere dengan mengangkat tangan ketika pelajaran Pak Miftah.
Pak Miftah yang tengah menulis di papan, langsung berhenti dan menoleh.
“Iya. Ada apa Re? “ tanya Pak Miftah memperhatikan cewek disampingku.
“Saya izin bawa Naura ke UKS Pak. Dia sakit, pucet banget ini,” terang Rere dan Pak Miftah langsung menyoroti ku tajam.
Saat itu aku berlagak sakit. Memegangi perut dan merintih.
Jadi ide brilian yang aku maksud adalah pura-pura sakit demi tidur nyaman. Dan UKS adalah pilihan yang tepat.