Waktu bergulir begitu cepat. Aku dan Naren memilih untuk fokus kepada pendidikan dan hubungan. Lebih sering berkomunikasi daripada bertemu langsung. Bukan enggan, tetapi jadwal kita masing-masing yang tidak bisa diajak kompromi.
Aku tidak masalah selama dia memberi kabar dan tidak melakukan hal yang macam-macam dibelakang.
Tidak jarang, kita juga melakukan video call setelah selesai kegiatan.
Perayaan anniversary kita juga terbilang biasa. Hanya makan bersama tanpa memberi kado satu sama lain tetapi tetap mengutarakan harapan semoga kedepannya hubungan kita bertambah baik dan dewasa.
Setelah melewati banyak hal dengan Naren, jujur aku mulai terbiasa. Meskipun rasa sukaku padanya tidak sebesar kepada Alden. Tetapi aku cukup lega karenanya. Bahwa aku merasa tidak sepenuhnya berpura-pura dalam hubungan ini.
“Bagaimana kalau disini? “ tanya Rere memperlihatkan pamflet berisi tempat-tempat les.
Aku memperhatikan pamflet yang Rere maksud. Biaya terjangkau dan yang terpenting tidak terlalu jauh dari sekolah.
Aku dan Rere sudah malas jika harus melakukan perpanjangan waktu.
“Oke.Tapi kita lihat dulu buat mastiin. Gimana?”
Sebenarnya aku sudah terlalu malas untuk mengambil pelajaran tambahan. Tetapi jika tidak seperti ini harus bagaimana sementara mata pelajaran ujian nasional aku belum terlalu paham.
Dan aku sudah memutuskan akan tetap mengambil jurusan farmasi saat kuliah. Berbeda dengan Rere yang akan banting setir menjadi analis gizi.
Ting.
Ting.
Aku dan Rere sama-sama tergelak saat ponsel kita bersamaan membunyikan notifikasi.
“Dari siapa? “ tanya Rere.
Aku mengambil benda canggih itu dan membukanya “Naren. Kalau lo? “
“Rafi.”
Aku mengangguk mengerti.
Naren : Sayang, kangen kamu! Kosongkan jadwal Minggu depan yuk buat ketemu.
Aku tersenyum merasa gemas dengan ketikan Naren. Tidak berselang lama aku membalas pesannya.
“Gue lihat-lihat, hubungan lo sama Naren makin baik saja,” ujar Rere meminum jus alpukat pesanannya.
“Nggak ada alasan buat gue bersikap nggak baik sama dia,” balas ku sambil mengetik balasan untuk Naren.
“Seenggaknya gue senang lo dapat cowok yang baik. “
***
“Assalamu'alaikum. Naura pulang!” kataku memasuki rumah.
Aku terpengaruh melihat semua orang rumah mengenakan pakaian berbeda. Ayah dan Alvin mengenakan baju koko sementara Ibu dan Kak Imelda menggunakan gamis juga berjilbab.
“Mau kemana sih?” tanyaku setelah melepas sepatu dan menaruhnya di rak khusus.
“Ko kemana? Lo lupa kita mau ke panti asuhan,” ingat Kak Imelda yang sedang bermain ponsel di ruang tengah.
Aku menepuk kening. Bagaimana aku bisa lupa kebiasaan kita sendiri.
Di bulan-bulan tertentu, keluarga menetapkan untuk memberikan santunan kepada anak-anak panti asuhan. Sudah berulang kali aku menjumpai hal demikian dan termasuk hal yang biasa tetapi memang dasar banyak pikiran mendadak hal sekecil apapun lupa.
Biasanya kita akan membawa makanan, baju-baju yang layak untuk disumbangkan dan sudah jelas ada sedikit uang. Walau tidak seberapa.
Aku mengambil gelas baru dari dapur dan memberinya air “ Gue habis cari-cari tempat les bareng Rere,” jawabku pada Kak Imelda kemudian meminum segelas air putih.
“Gue ke kamar siap-siap dulu,Kak! “ teriakku dan menaiki tangga ke lantai dua.
“Iya! Jangan lama-lama. Sudah ditunggu Ayah Ibu,” jawabnya.
Aku melangkah dengan tergesa-gesa. Pantas saja sepanjang di cafe aku merasa gelisah dan seperti lupa sesuatu. Ternyata ini.
Aku melemparkan ransel asal ke tempat tidur. Masuk ke kamar mandi untuk mencuci muka dan menuntaskan hajat. Setelah dirasa cukup dan merasa lumayan segar, langkahku tertuju pada lemari khusus yang berisi gamis-gamis.
“Gue nggak mau terlalu mencolok dan mengundang perhatian, jadi enaknya pakai yang mana ya? “ tanyaku pada diri sendiri dengan mata fokus melihat beberapa gamis yang digantung.
Akhirnya pilihanku jatuh pada abaya hitam sederhana yang tidak terlalu mencolok dengan manik-maniknya. Dan untuk jilbabnya aku mengenakan pashmina berwarna cream.