“Woy Re! “ panggil ku pada Rere yang menaiki tangga.
Rere menoleh dan berhenti. Aku berlari kecil agar cepat sampai di hadapannya. Aku kira akan terlambat karena waktu yang sangat mepet.
Obrolanku dengan Ayah di mobil terhenti begitu saja. Ayah juga sangat terkejut dengan penuturan ku. Maklum Ayah hanya menuntut kami agar berpendidikan tinggi. Dan itu pendidikan formal.
Keputusanku pastinya sangat membuat Ayah kaget sekaligus tidak menduga. Kami menjalankan ibadah sebagaimana mestinya. Kami shalat, puasa dan melakukan ibadah lain yang diwajibkan. Tetapi kami bukan keluarga seagamis itu. Hanya keluarga umum sebagaimana kebanyakan orang.
Rere menatapku lekat “Lo begadang lagi? Ujian semester dah lewat kali. Dan kita juga sudah naik kelas,” kata Rere.
Aku menaiki tangga diikuti Rere disampingku “Gue lagi kepikiran sesuatu aja Re. Makannya jadi kaya gini bentuk muka gue,” terangku.
“Naren? “
“Hubungan gue sama dia baik-baik saja,” jawabku yang membuat Rere mendengus karena tidak suka bertele-tele.
“Terus apa? Alden?”
Tepat saat Rere mengucapkan nama itu, sang pemilik nama berjalan menuruni tangga. Dan bodohnya aku juga Rere terdiam dengan mata yang saling melirik satu sama lain. Aku kelabakan. Persis seperti pencuri yang ketahuan melakukan tindakan kriminal. Aneh, padahal aku tidak berbuat apa-apa.
Aku mendekati Rere dan membisikan sesuatu “Lo harus tanggung jawab kalau sampai Siska labrak gue lagi.”
Rere meraih tangan ku. Menarikku agar tidak memperdulikan kehadiran Alden. Namun baru beberapa langkah, salah satu tanganku yang lain ditahan Alden.
“Gue mau ngomong sesuatu sama lo Naura,” katanya dengan nada berat.
Rere bersedekap dan berdiri di depan ku “Gue nggak akan kasih izin buat lo.”
Aku menarik kedua ujung bibir membentuk senyuman tipis. Geli sendiri melihat kelakuan Rere yang sok sokan menjadi bodyguard.
Tangan Rere terangkat dan menyentak genggaman tangan Alden di tanganku hingga terputus.
Rere berdehem apa-apa ibu kosan yang galak gara-gara sang penyewa menunggak uang kosan.
“Nau! Gue bunuh ya lo. Malah diam kayak patung. Bantuin gue biar tambah seru nih adegan,” bisik Rere membuatku ingin menghujat sejadi-jadinya.
“Salah sendiri lo pakai acara drama segala. Tinggal lanjut jalan ko susah. Malah cosplay jadi ibu-ibu kos, “ ejek ku.
“Nau, please?” mohon Alden.
Aku menghembuskan nafas kasar. Alamat bakal ribut lagi sama Siska habis ini.
“Oke,” putusku dan mendapat hadiah cubitan dari Rere.
“Gue nggak bakal bantuin lo, kalau nenek sihir itu macem-macem lagi,” ujar Rere meninggalkanku dengan Alden.
“Kita ke taman belakang.”
***
Taman belakang menjadi salah satu fasilitas umum di Dharma Bhakti. Tetapi mungkin karena letaknya yang terlalu jauh hingga jarang ada siswa siswi disini.
“Mau ngomong apa?” tanyaku tidak mau basa basi.
Alden mendesah kasar “Haruskah kita seasing ini. Gue punya salah apa sama lo sebenarnya?”
Aku menatap Alden tidak percaya. Dia yang menciptakan jarak dan dia yang bertanya kenapa.
“Sinting lo! Kalau ini yang mau lo omongin lebih baik jangan buat waktu gue sia-sia,” cecar ku hendak pergi namun lagi-lagi Alden menahan.
“Bisa nggak kalau ada masalah jangan selalu menyimpulkan sendiri! Lo tau selama hampir satu tahun ini gue selalu bertanya-tanya gue salah apa ke lo sampai lo kaya gini,” ujar Alden dengan mata menyiratkan luka.
Aku melempar pandangan ke segala arah. Benci akan situasi ini. Hatiku sesak bukan main dan mataku juga terasa panas. Detik ini juga aku menyesali keputusanku agar mau berbicara dengannya.
“Al, sudah bukan waktu kita lagi buat ngobrolin masa lalu yang sudah lewat,” balas ku tenang.
“Akhirnya gue bisa denger lo manggil gue dengan sebutan itu lagi,” cowok itu tersenyum tulus.
“Al, kali ini gue mohon sama lo. Cukup! Kita punya kehidupan masing-masing. Ada orang lain yang harus kita jaga perasaannya. Gue mohon sama lo, “ pintaku.
Alden bercak pinggang dan menengadahkan kepala. Cowok tampan itu terdiam.
Aku tahu sikap dan perbuatanku begitu melukai hatinya. Tapi sudah tidak ada pilihan. Aku tidak mungkin meninggalkan Naren atau lebih parah lagi menjalin hubungan dengan dua cowok sekaligus.
“Oke. Gue penuhin kali ini apa yang lo mau. Tetapi lo juga harus penuhin permintaan gue,” kata Alden tegas dan tidak ingin dibantah.
“Apa? “
Alden tersenyum smirk “ Kalau lo putus sama Naren, lo harus mau kasih gue kesempatan. Gue mau kita kayak dulu lagi.”
“Lo gila! Nggak mungkin gue setuju dengan perjanjian konyol lo ini! “ tolak gue mentah-mentah.
“Terserah. Tetapi lo udah janji sama gue. Dan gue tahu lo tipikal orang yang selalu menuhin omongan, “ ucap Alden kemudian berlalu.
“Sial! “
***