Parade waktu

Nuriyatul amanah
Chapter #19

Tidak pernah terpikir

Sampai di depan rumah aku bergegas masuk. Pikiranku kalut. Kak Imelda tidak mengangkat telepon. Aku menelpon orang rumah juga sama.


“Assalamu'alaikum Kak! Lo dimana?” Koar ku mencari keberadaannya.


“Gue disini, di kamar Ayah Ibu!“


Mendengar jawaban itu, aku mempercepat langkah. Ternyata pintu dibuka begitu saja.


“Kak, lo ngapain? “ tanyaku pada Kak Imelda yang memasukan beberapa baju-baju Ayah Ibu ke koper.


“Nanti gue jelasin. Sekarang lo juga siap-siap. Bawa baju yang penting-penting saja. Dan bawa juga baju tertutup.”


Aku hendak mengeluarkan suara lagi, tetapi saat melihat Kak Imelda begitu buru-buru, aku mengurungkan niat dan melaksanakan apa yang Kak Imelda ucapkan.


Aku mengambil koper dari atas lemari. Mengambil beberapa helai baju yang pantas dan jilbab. Hatiku masih bertanya-tanya kenapa. Tetapi logikaku berkata untuk aku bisa jaga sikap agar memperburuk keadaan.


Drrt.. drrt.


Naren is calling.


Aku menepuk kepala. Untuk kali kedua aku lupa memberinya kabar. Saking paniknya.


Tanganku menggeser tombol answer dan loudspeaker.


“Hallo sayang,” panggilnya dari seberang.


“Hai. Kak maaf aku lupa ngabarin kamu lagi,” jawabku sambil terus memasukan baju ke koper.


“Kamu nggak papa? Ko kayak panik gitu?”


“Aku juga nggak tau, tapi Kak Imelda nyuruh aku siap-siap bawa baju.”


“Hah gimana? Bawa baju? “


“Iya. Aku juga buru-buru ini.”


“Aku kesana ya. Aku takut kamu… “


Aku terhenti. Seketika aku bertanya hubungan macam apa yang sekarang aku jalani. Bahkan disaat mengkhawatirkan begini, aku tidak bisa membiarkan Naren turun tangan.


“Kak,” lidahku kelu untuk melanjutkan kata.


Terdengar Naren menghela nafas kasar “Iya tau. Kamu jaga diri baik-baik. Jangan sampai terluka. Aku tunggu kabar selanjutnya.”


Tut… tut.


Aku terpengarah. Hendak menelpon Naren kembali namun urung karena terburu-buru.




***




“Kita mau kemana sih, Kak?” tanyaku saat kita di dalam taxi.


Kak Imelda tidak langsung menjawab. Dia menepuk bahuku pelan “Kita mau ke rumah Eyang.”


Aku mengerutkan kening “Eyang. Kita Kak? Ayah, Ibu sama Alvan gimana? “


“Mereka sudah disana,” jawab Kak Imelda seadanya.


Hatiku tidak tenang. Pasti ada sesuatu yang terjadi. Mata Kak Imelda sembab seolah telah menangis. Kita juga menggunakan taxi, padahal mobil Kak Imelda terparkir rapi di garasi.


“Kak, ada apa? Lo nggak mau kasih tau gue.”


Tiba-tiba Kak Imelda menarikku dalam pelukannya “Eyang Akung udah nggak ada Nau,” isaknya membuatku tercengang.


“Kak, “ hanya kata itu yang mampu keluar dari mulutku.


Lihat selengkapnya