Perkataan Ayah terus terngiang tidak hanya di telinga tapi di kepalaku. Aku tidak suka berada dalam situasi macam ini. Memilih antara Ayah dan Naren.
Tetapi aku bukanlah anak yang tidak tahu diri tanpa ingat bagaimana perjuangan keluarga termasuk Ayah.
Aku berusaha memejamkan mata tetapi percuma. Isi kepalaku hanya berisi bagaimana caraku untuk memenuhi permintaan Ayah. Bagaimana kalau Naren sakit hati dan melakukan hal yang tidak-tidak. Terlebih aku tahu Naren termasuk orang yang nekat.
Ting
Suara notif HP menarik perhatianku. Tertera nama Naren di layar.
Naren : Sayang, kamu udah tidur?
Naura: Belum Kak. Kenapa?
Naren : Kok malah kenapa? Kamu nggak kangen aku? Kita udah lima bulan nggak ketemu. Ayo meet up!? Kangen sama pacar hehehe.
Ternyata semesta seolah mendukung permintaan Ayah. Bisakah aku merusak momen yang telah ditunggu cowok baik ini.
Naren : Sayang, nggak bisa ya?
Naura : Eh maaf Kak. Aku habis dari kamar mandi. Ayo kalau mau ketemu. Pasti ada referensi tempat bagus kan?
Naren : Hee tau aja. Oke. Dijemput di tempat biasa ya. See you sayang.
Naura: See you Kak.
***
Sesuai janji Naren datang tepat waktu. Dari jarak cukup jauh, aku bisa melihat bagaimana senyum bahagia itu tercipta.
Naren melambaikan tangan ke arahku. Dia membuka pintu mobil.
“Hai, kangen banget,” Naren langsung meraihku kedalam dekapannya.
Aku membalas pelukan Naren. Berulang kali hatiku meminta maaf akan apa yang bisa terjadi hari ini. Dan aku yakin Naren mungkin saja membenciku.
“Ayo masuk. Aku punya tempat bagus dan aku yakin kamu pasti suka,” ujar Naren menggandeng tanganku dan membantu membuka pintu mobil.
Mobil sedan merah milik Naren melewati perumahan dan mulai memasuki jalan raya. Sepanjang itu aku selalu berfikir harus bagaimana sekarang dan apakah aku mengambil keputusan yang tepat.
“Sayang, kita berhenti di swalayan dulu ya. Kita beli cemilan sama minuman buat jaga-jaga,” ujar Naren.
“Hei, diem aja sih dari tadi. Kenapa? “ tambah Naren karena tidak kunjung mendapat jawaban dariku.
“Nggak papa Kak, aku agak ngantuk kayaknya semalam habis nonton drakor,” alibiku.
Tangan kiri Naren terulur mengelus pucuk kepala ku gemas “Drakor mulu sih. Tidur dulu nanti dibangunin kalau sudah sampai.”
Aku tersenyum lembut, mengambil tangan kekar itu. Menggenggam erat dan menyandarkan kepalaku di bahunya.
“Maafkan aku ya Kak,” sesalku tanpa mengungkapkan hal yang membuatku terdiam selama perjalanan.
Naren menguatkan genggaman tangannya “Nggak usah minta maaf karena kamu nggak salah sayang.”
Mobil yang dikendarai Naren terus melaju. Aku tidak tahu cowok disampingku ini akan membawaku kemana. Jalanan yang asing. Tetapi sejauh mata memandang hanya disuguhi pemandangan alam seperti sawah dan gunung. Kadang juga jalan yang berbelok.
Mataku berat tapi enggan terpejam. Berkali-kali aku hendak menarik kepala dari batu Naren tetapi dicegah olehnya.