Parade waktu

Nuriyatul amanah
Chapter #21

Dia datang

Hari keenam Ayah tidak ada, suasana rumah masih berkabung. Kemarin aku mendapati Ibu dan Kak Imelda melipat pakaian-pakaian Ayah dengan terisak.


Kadang aku berpikir, apa kesalahan lalu sangat fatal sehingga aku dihukum sedemikian sakit. Membuat luka yang sukar sekali sembuh.


Semua ruangan bercerita tentang Ayah. Bahkan aku hampir lupa caranya tertawa.


Rumah tampak ramai. Seramai pikiran ku. Beberapa tetangga datang untuk memasak untuk menghormati kerabat yang datang untuk acara tujuh harian Ayah nanti malam.


Harusnya bukan dengan cara begini rumah ramai Ayah. Bukan dengan cara Ayah pergi disaat aku tengah berjuang untuk membahagiakan kalian.


Ibu mengelus lembut hijab ku “Lagi mikirin apa? “ tanya Ibu saat aku berdiam diri di teras. Tempat favorit Ayah untuk menikmati kopi hitam dan membaca koran.


“Apa hukuman Naura karena dulu nyakitin Naren. Tetapi Naura sudah minta maaf Bu,”isakku.


Ibu merengkuhku dalam dekapannya “Siapa yang bilang begitu? Ibu sudah pernah bilang, Ayah nggak ada bukan salah Naura. Ayah nggak ada memang karena tugas Ayah sebagai Ayah kamu dan sebagai suami ibu sudah selesai.”


Aku terisak hebat “Tapi Naura rindu Ayah. Naura bingung harus bagaimana sekarang? Naura seperti tidak punya tujuan.”


Ibu melepas pelukannya. Memegang pipiku dengan kedua tangannya “Kamu masih punya kita. Ada Ibu, Kak Imelda dan Alvin. Ingat dulu saat Naura, bisa masuk hafalan, Ayah menangis bangga. Ayah Ibu tidak pernah berangan akan memiliki seorang anak penghafal alquran. Lihat, karena kamu, Ibu dan Kak Imelda memberanikan diri untuk berhijab. Jadi ini bukan salah kamu. Ini takdir.”




***




Malam ke tujuh. Rumah tampak lebih ramai dari biasanya. Selain tetangga, kerabat-kerabat lain pun datang. Aku hanya bisa melihat dari kejauhan. Tidak ada hal apapun yang menarik. Sampai Alvan datang menghampiri ku dan memberitahu jika ada salah satu temanku yang datang.


Tidak mungkin Rere karena setelah lulus SMK dia memilih melanjutkan kuliah di Aceh. Mengikuti perpindahan orang tuanya.


Aku mengerutkan kening memikirkan kira-kira siapa yang datang. Tetapi tidak juga aku temukan jawaban. Hingga aku menyerah dan memutuskan untuk menemuinya.


“Dimana? “ tanyaku beranjak.


“Di teras belakang. Karena teras depan buat bapak-bapak dan saudara yang datang.” jelas Alvan.


Aku mengangguk “ Iya nggak masalah. Makasih Alvan.”


Tanpa menunggu lagi, aku bergegas menuju teras belakang.


Deg.


Alden.


Aku tidak menyangka jika teman yang dimaksud Alvan adalah Alden. Cowok itu tersenyum dan melambaikan tangan. Sementara aku membalas senyumnya walau mungkin terlihat jelas guratan kebingungan.


Aku mengedarkan pandang dan ternyata dia tidak datang sendiri. Yang aku duga itu adalah teman Alden entah siapa.


Aku merasa hatiku masih bergetar. Sama seperti dulu. Tidak pernah berubah.


Aku mendekat. Melihat sekilas Alden yang masih tetap tampan seperti dulu.


“Hai,” sapa Alden.


Aku tersenyum “Ko bisa sampai sini? Gue kan nggak pernah kasih tau alamat rumah,” sebenarnya sedikit aneh menyebut kata gue untuk menggambarkan diri sendiri setelah sekian lama tidak pernah aku pakai karena larangan pesantren.


“Gue hanya khawatir keadaanmu. Maaf soal dulu,”


Soal dulu. Perjanjian konyol yang Alden buat, aku menanggapinya dengan acuh dan berusaha melupakannya.


Setelah kejadian yang menimpa Naren, perasaan bersalah terus menghantui ku. Ada rasa kecewa terhadap diri sendiri dan perasaan sesal yang tiada tara.


Karena alasan itulah aku menutup rapat pintu hatiku. Menolak setiap cowok yang berusaha mendekatiku. Aku seolah enggan dan takut jika kejadian demikian akan kembali terulang.


Sebenarnya Kak Imelda selalu memberiku banyak wejangan dan dia selalu bilang jika apa yang terjadi dengan Naren bukan kesalahanku, tetapi semua yang aku dengar seolah menjadi angin lalu hingga terasa sangat sulit untuk aku percaya.

Lihat selengkapnya