Satu tahun berlalu dengan penuh air mata dan perjuangan keras. Setiap malam aku menangis karena rindu Ayah. Aku menekan kuat ego untuk tetap kuat dan teguh pada pendirian. Dan dua hal yang aku sadari adalah menepati janji dan mengontrol kewarasan merupakan hal yang sangat susah.
Ingin rasanya berkata jujur pada Ibu jika aku lelah tetapi aku ingat bahwa baik Ibu, Kak Imelda dan Alvan juga merasakan hal yang sama. Kita harus beradaptasi lagi untuk melanjutkan hidup.
Satu tahun lalu, aku berjuang mati-matian mengganti waktu. Berusaha fokus mengejar hafalan dan berusaha agar bisa ikut wisuda tahun ini.
Aku sangat ambisius sekali dengan apa yang sudah aku rencanakan. Aku berharap bisa ikut wisuda tahun ini, semaan lancar dan memenuhi persyaratan. Kalaupun ada yang harus diperbaiki aku akan usahakan sebaik mungkin dalam kurun waktu secepat mungkin. Tujuannya jelas, agar aku segera pulang.
Beberapa bulan belakangan, jika aku menelpon Ibu selalu kesepian dan memintaku untuk sering kasih kabar. Dari situ aku menyimpulkan jika keadaaan rumah mungkin tidak baik-baik saja.
“Ya robbi bil mustofa balligh maqooshidanaa waghfirlana mamadho yawasingal karomi,” terdengar lantunan shalawat bergema di lantai satu sebagai penutup pengajian pagi ini.
Tidak berselang lama, banyak dari santri yang meninggalkan majelis entah untuk jajan, makan, ke kamar mandi atau tidur. Maklum saja banyak dari mereka yang harus lembur demi bisa menambah hafalan.
Mualimah atau Bu Nyai terkenal dengan ketelitiannya karena hal itu kita harus mempersiapkan segalanya dengan benar dan sungguh-sungguh, jika tidak maka besar kemungkinan kita berakhir tidak menambah hafalan. Dan itu akan terasa sangat menyakitkan, mengingat waktu dan usaha terasa terbuang percuma.
Rasanya badanku remuk. Berjuang dari pagi hingga pagi lagi, menguras emosi dan aku merasa seperti robot yang sudah di program dan kesulitan berhenti.
“Nau,” panggil Arin entah datang dari mana dan langsung rebahan di lantai.
Aku memutar bola mata malas melihat kelakuannya yang tidak pernah berubah. Selalu berbicara setengah-setengah, membuat orang penasaran.
“Ah, enaknya! “ erang Arin merenggangkan badan.
Sudah hafal kebiasaannya, aku lebih memilih untuk melanjutkan aktifitas yang tertunda karena kedatangan bocah tengil ini.
“Bismillah Hirrohman nirrohim. Yaa ayyuhal muzzammil. Qumil Laila illa qolila. Nisfahu awing qush minhu qolila,” lantunku pelan sambil sesekali melihat terjemahannya.
Benar, aku memasuki juz dua puluh sembilan. Perjuangan yang panjang dan diselingi isak tangis. Bahkan untuk memasuki tahap ini aku harus merelakan momen lebaran pertama kali tanpa Ayah.
Ada peraturan pondok yang mengharuskan liburan di pesantren saat lebaran ketika sudah memiliki hafalan sebanyak dua puluh lima keatas. Tujuannya agar tidak merusak hafalan karena saat di rumah banyak sekali godaan termasuk handphone.
Sebelum mengambil keputusan untuk semaan dua puluh lima, aku terlebih dahulu meminta izin kepada Ibu dan memberitahu jika sudah semaan sampai tahap ini, aku harus mengikuti aturan pondok yaitu tidak boleh pulang saat liburan yang mana bertepatan saat lebaran.
Di titik itu, aku hanya mengikuti kemauan Ibu. Bila Ibu mengizinkan maka aku akan berusaha sekuat tenaga agar lulus tes dan lanjut ke tahap semaan. Tapi jika sebaliknya maka aku akan tetap di tahap murajaah. Dan Ibu mengizinkan meski aku tau ada sedikit perasaan tidak rela.
“Sodaqolloh huladzim,” lantunku ketika selesai murajaah.
Ku letakkan al quran di meja kecil yang sering dipakai ketika mengaji. Netra ku menatap dalam bekas bagian-bagian al quran yang sering aku buka. Ada perasaan senang sekaligus bangga karena tidak menyangka aku bisa sampai pada tahap ini. Namun, tidak bisa kupungkiri jika ada perasaan sesak yang teramat saat teringat bila Ayah telah tiada.
Ingin sekali aku pergi ke wartel. Menelpon Ayah dan bercerita bagaimana susah sekaligus senangnya aku. Aku akui jika aku iri pada teman-teman yang lain ketika bercerita habis menelpon rumah dan berbicara kepada Ayah mereka.
Atau disaat aku keluar bersama Arin maupun yang lainnya ke toko pondok beberapa kali aku tidak sengaja melihat seorang anak perempuan bersama Ayahnya. Bercengkrama di tengah keramaian diiringi canda dan tawa. Ya Allah aku baru menyadari bila itu adalah momen mahal yang tidak setiap orang bisa merasakannya.
“Kebiasaan banget sih.”
Suara Arin seketika mengembalikan kesadaranku. Entah dari mana datangnya makhluk satu ini. Kapan dia bangun dan sekarang dengan senyum mengembang serta kedua tangan yang menenteng lauk serta plastik berisi gorengan.
“Ayo makan. Laper banget aku,” ajak Arin.
“Ayo,” balas ku dan mengikuti langkahnya menaiki tangga menuju lantai tiga.
***
Arin dan Fani bisa dikatakan teman terdekatmu. Mereka berdua banyak tahu tentang aku dan paham bagaimana sikapku.