Parade waktu

Nuriyatul amanah
Chapter #23

Perjuangan

Hari-hari berlalu dengan pasti. Dan sepanjang itu aku merasa waktu mendadak terasa singkat.


Sekarang sudah pertengahan bulan Dzulqa'dah dan tinggal menghitung minggu saja jatah aku semaan.


Jadi di Pesantren Al Hikmah ini, semua santri yang sudah mencapai titik ini akan dikumpulkan per majelis dan akan mendapat pertanyaan langsung dari Bu Nyai sungguh atau tidak. Bukan tanpa sebab Bu Nyai bertanya demikian karena sebelum semaan tiga puluh kita harus melewati tes terlebih dahulu sebanyak tiga puluh juz. Dan setelah dinyatakan lulus kita akan menjalani semaan al quran dari juz satu sampai tiga puluh hanya satu kali dudukan dan itu selama satu hari atau dua puluh empat jam.


Oleh karena itu, kita harus benar-benar menjaga kondisi tubuh. Entah bagaimana caranya tetapi yang jelas harus kuat dan yang terpenting suara tetap aman hingga akhir.


Ada lagi faktor yang buat kita para santri waspada yaitu datang bulan yang datang terlambat atau mendadak mengalami perubahan siklus. Jika itu terjadi mau tidak mau walau sudah jadwal semaan kita tetap tidak boleh melakukan nya.


Di tahap ini seolah ada kata biarlah tangan-tangan Allah yang bekerja.


Bagaimana tidak terkuras tenaga dan pikiran. Bagaimana pula kita mengkondisikan agar kita selalu berfikir positif.


Disini masukan dan dukungan dari orang-orang terdekat sangatlah diperlukan.


Dan aku merasakan dari Fani dan Arin. Mereka selalu sigap dan menghibur aku. Entah aku mengeluh sekeras apa, disitu pula mereka menghiburku sekuat tenaga. Aku juga beruntung karena disekitarku masih banyak orang baik, jadi aku masih bisa minta tolong yang lain untuk menyemak hafalan selama Arin dan Fani sibuk dengan urusan masing-masing.


“Serius banget dah. Sampai alismu nyatu gitu. Mana kayak sincan lagi hahaha,” kata Arin tiba-tiba datang dan duduk di depanku entah datang dari arah mana.


Aku yang tengah memeriksa buku kecil warna hijau yang berisi laporan setoran dan murojaah hanya melihat Arin sekilas dan kembali fokus. Aku harus menghitung ulang di tanggal berapa aku harus minta izin untuk tes tiga puluh ke Bu Nyai.


“Nau, aku di depanmu loh ini. Mana main cuek-cuek aja,” kesal Arin.


Aku mengarahkan buku hijau itu kepada Arin “Menurutmu, aku matur di tanggal ini gimana? “


Seketika Arin memasang wajah serius perubahan yang jarang aku lihat karena biasanya dia akan terkesan menyebalkan dan seenaknya sendiri.


“Nggak papa. Jadi masih ada jarak dari jadwal semaan mu dan kamu bisa santai sejenak. Istirahat bisa lebih fresh. Jadi enakan pas kamu semaan,” tanggap Arin yang membuat aku semakin yakin bila keputusanku ini tepat.


“Tumben toh lo pinter,” ejek ku yang seketika membuat Arin merenggut.


“Kampret lo!”






***





Entah sudah yang keberapa kali aku menghembuskan nafas demi menetralisir rasa gugup.


Pagi ini, setelah pengajian pagi aku berencana untuk matur atau minta izin tes tiga puluh kepada Bu Nyai.


Di Al Hikmah ada beberapa hal yang harus kita sendiri yang turun tangan untuk meminta izin kepada Bu Nyai seperti tes binnadzor, tes huffadz, tes tiga puluh juz dan semaan terminalan atau kelipatan lima.


“Mbak Ida, Ibu ada?” tanyaku pada salah satu khodimah atau mbak-mbak yang mengabdi di rumah Ibu.


Mbak Ida yang semula tengah memotong sayuran seketika berhenti “Wah, mau matur tes kan?” godanya.


Aku memutar bola mata malas. Memang salah jika bertanya sama Mbak Ida.


Hubungan kita lumayan dekat jadi baik aku atau Mbak Ida sudah iseng dan menggoda satu sama lain.


“Mbak ih, serius loh aku,” rajukku.


“Dih, merajuk. Ada di kamar. Kalau mau matur sekarang aja. Kayaknya Ibu juga mau tindakkan,” jelas Mbak Ida.


“Oke Mbak. Makasih.”


“Iya. Kalau butuh di semaan bilang ya Nau. Nggak usah sok malu malu kucing.”


“Iya. Awas tuh nanti malah tangannya yang kepotong,” gurau ku yang langsung meninggalkan Mbak Ida.


Sepanjang jalan menuju kamar Bu Nyai aku terus membaca sholawat dalam hati. Dan berharap semoga keputusanku ini tepat.


Tok.


Lihat selengkapnya