Tidak perlu menunggu lama, setelah pengajian selesai aku langsung matur Bu Nyai. Masa bodo dengan apapun yang akan terjadi, yang jelas aku sudah berjanji akan berjuang mati-matian kepada Ibu. Dan aku akan buktikan sesulit dan sesakit apapun nanti aku harus maju.
Pilihanku hanya maju dan mundur. Opsi tidak mungkin aku pilih karena aku sudah berani bilang kepada Ibu. Jadi jalan satu-satunya adalah maju. Dan aku berdoa semoga ada keadilan yang tertulis untukku.
Bagaimana aku banyak mengorbankan waktu dan tenaga. Jangan lupakan bagaimana aku menahan ego dan menghilangkan banyak keinginan untuk tetap berada disini.
“Pie nduk? “ tanya Bu Nyai begitu aku di hadapan beliau.
“Ngapunten Bu,” Hanya kata itu yang mampu keluar dari mulutku.
Aku merasa Bu Nyai tengah menatapku. Entah apa yang beliau pikirkan namun aku sungguh berharap akan ada harapan.
“Ngopo deg-degan? Awakmu gak koyo biasane. Nek ngaji karo aku yo lancar. Ko iso nggak lulus juz duwur,” ujar Bu Nyai.
Aku semakin menunduk. Aku juga tidak tahu mengapa tapi yang jelas aku sangat kecewa sekarang.
“Ngapunten ingkang kathah Bu.”
“Jatah semaanmu kapan Nduk? “
“Tanggal delapan belas Bu. Dinten Rabu ngenjang,” jawabku.
“Isih ono wektu. Awakmu tenan pengen melu manggung toh? “
“Nggih Bu.”
“Yo wes. Tak kei kesempatan neh. Sing tenan yo awakmu leh ngeres. Disiapke sing tenan. Maju sesuk dino Senin. Cukup juz selikur tekan telung puluh.”
Desiran itu kembali terasa. Tetapi bukan hal yang menyakitkan justru sebaliknya. Detik itu pula aku mengucapkan beribu-ribu syukur.
“Matur nuwun Bu.”
***
Waktu yang diberikan Bu Nyai hanya tiga hari. Di waktu-waktu itu pikiran ku hanya berpusat pada satu tujuan.
Hidupku hanya berisi murajaah, di semakin dan kadang di tes. Aku hanya ke kamar jika tidur dan ganti baju.
Sungguh aku abaikan hal-hal di sekitarku. Katakanlah aku jauh lebih egois sekarang tetapi aku tengah butuh ini. Masa bodoh dengan orang-orang sekitar yang kadang kala membicarakan aku dari belakang. Terserah!
“Nau,” panggil Arin entah dari kapan ada disampingku padahal saat aku melihat sekeliling mushola Arin dan Fani tidak ada.
“Istirahat dulu. Dari kemarin kita lihat kamu kayak gini terus,” tambah Fani sambil menepuk lembut pundakku.
Aku diam. Bukan aku marah tapi apa yang dibilang mereka berdua adalah kebenaran.
Tes.
Arin dan Fani langsung mendekapku begitu mendapati ada butiran bening jatuh di pipiku. Sejujurnya aku juga capek. Capek hati dan pikiran. Aku tidak baik-baik saja. Aku hanya berusaha terlihat baik didepan banyak orang.
Bahkan aku juga bingung bagaimana aku harus bilang ke Ibu semua hal yang terjadi.
“Aku capek,” keluhku untuk pertama kali.
Arin mengelus lenganku sementara Fani menepuk-nepuk punggung ku.
“Aku, aku nggak baik-baik saja. Aku takut. Aku juga belum bilang ke Ibu,” sambung ku.
“Kita disini. Sabar ya tinggal besok. Kamu harus kuat. Demi kamu, Ayah dan Ibu. Dan perjuanganmu selama ini,” kata Arin yang sukses membuat air mataku makin tak terkendali hingga membuat keduanya panik.
“Eh, eh ko malah makin mewek sih,” panik Arin.
Plak.
Suara tangan Fani yang mendarat di bahu Arin “Lo sih. Disuruh nenangin malah bikin orang panik. Ini gimana konsepnya,” sewot Fani.
“Lah salah gue? Naura aja yang baper,” balas Arin tidak terima.
Fani semakin menatap horor ke arah Arin “Gue uleg ya lama-lama.”
Tanpa terasa aku menarik garis kedua bibirku keatas. Perdebatan keduanya sering terjadi dan terkesan lucu. Dan itu cukup membuatku terhibur.
***
Keesokan harinya aku bersiap lebih awal. Aku benar-benar ikhlas untuk hasil yang akan aku peroleh. Usaha dan pengorbanan sudah aku lakukan. Aku juga telah memberitahu Ibu bagaimana hasil yang diperoleh dan kesempatan yang Bu Nyai berikan.
Awalnya aku takut Ibu marah dan kecewa, tetapi kata-kata Ibu menguatkanku. Ditambah ucapan Alvan yang sederhana tetapi berkesan. Semaan ya udah tidak ya udah. Nggak papa Kak, yang terpenting kamu tidak menghianati diri sendiri. Terlebih kamu juga telah melakukan yang terbaik. Ayah akan bangga sama kamu.
Aku bahkan tidak sanggup membalas perkataan Alvan. Ternyata hal buruk tidak selamanya buruk. Aku yakin banyak perubahan besar yang terjadi di rumah.
“Naura, tes?”
Aku mengangkat kepala “Iya mbak Fik.”
“Ayo. Aku diutus Ibu buat tes kamu,” jelas Mbak Fikri.
Untuk sekali lagi aku merasakan atmosfer ini. Tetapi aku benar-benar sudah ikhlas namun tetap ada harapan yang baik di setiap perjuangan.
Aku memberikan alquran kepada Mbak Fikri “Bismillahirrohmanirrohim. Alif lam mim. Tanzilal kitabi la raiba fihi mirrobbil ‘alamin,” lantunan pertama Mbak Fikri.
Aku menarik nafas dan menghembuskannya perlahan kemudian berucap “Bismillahirrohmanirrohim. Alif lam mim. Tanzilal kitabi la raiba fihi mirrobbil ‘alamin. Am yaqulu naftaroh, bal huwal haqqu min rabbika litunziroqawm amma a tahum minnadzirimmirrobika la'alahum yahtadun,” sambung ku sampai Mbak Fikri memberi tanda untuk berhenti.
“Qul jaa al haqqu wama yubdiul batilu wama yuid? “
“Qul jaa al haqqu wama yubdiul batilu wama yuid. Qul in dholaltu fainnama adhillu ‘ala nafsi, wa ihtadaytu fabima yuni ilayya mirrobi, innahu tsami'unnqorib.”
“Bismillahirrohmanirrohim. Wash shaffati shaffa? “
“Bismillahirrohmanirrohim. Wash shaffati shaffa. Fazza jirati zajra. Fattaliyati dzikra. Inna ilahakum lawahid, “ balas ku yang aku hitung sudah tiga kali pertanyaan yang artinya ini adalah juz dua puluh tiga.
Pertanyaan demi pertanyaan terus bergulir hingga sekarang masuk ke juz dua puluh sembilan.
“Waminal laili fasjud lahu wasabbihu lailan thawila? “
“Waminal laili? Maaf Mbak, apa? “
“Aku ulangi ya. Tenang. Kamu pasti bisa,” bisik Mbak Fikri menenangkan.
“Waminal laili fasjud lahu wasabbihu lailan thawila?” ulang Mbak Fikri.
“Bismillahirrohmanirrohim. Waminal laili fasjud lahu wasabbihu lailan thawila. Inna haulaai yuhibbunal ‘ajilata wayadzaruna waro ahum yauman tsaqila.”
“Terakhir Nau. Tetap tenang dan konsentrasi.”
Aku mengangguk.
“Inna lil muttaqina mafaza?”
“Bismillahirrohmanirrohim, inna lil muttaqina mafaza. Hadaa iqo wa a’naba. Wakawa ‘iba atraba, “ balas ku hingga pukulan pelan di tanganku akhirnya aku rasakan.
Alhamdulillah. Peluh yang aku rasa dan tangis yang warnai hari-hariku akhirnya terbayar. Meski aku tau ini baru permulaan tetapi aku tidak berbohong jika aku merasa bahagia.
Mataku tidak lepas dari Mbak Fikri yang sedang menghadap Bu Nyai. Entah apa yang dia katakan, yang aku lihat dia hanya mengangguk.
Hingga, Mbak Fikri sampai di hadapanku dan memberikan ku selamat.
***
Rabu lima belas Dzulqa'dah.
Aku tidak percaya bisa sampai tahap ini. Aku senang, bahagia sekaligus sedih.
Akhirnya tahap ini ada didepan mata. Ibu, Kak Imelda, Alvan dan Om Salman. Mereka ada disini. Tetapi tidak bisa dipungkiri aku selalu ingin Ayah hadir. Aku ingin bilang, kalau Naura bisa Ayah. Naura menepati janji.
Jika kebanyakan santri yang lain memakai baju baru untuk semaan tiga puluh mereka, berbeda denganku yang sengaja memakai baju hijau. Baju dan sarung yang aku pakai disaat aku mendapat kabar jika Ayah telah tiada.
Aku ingin tahu seberapa kuat aku menghadapi ini semua ditengah gejolak hati.
Malam ini akan dimulai dari juz satu dengan penyemak sebanyak tiga orang. Tempatnya di ruang inap putri karena sementara di ndalem tengah ada pengajian kitab dari Pak Nyai. Oleh karena itu, semaan juz awal hanya ada Ibu dan Kak Imelda. Sementara Alvan dan Om Salman ada di pondok putra.
Ruang tamu inap sudah disulap menyerupai ruang semaan di lantai tiga. Ada meja untuk yang semaan, tiga meja untuk penyemak, enam bantal duduk dan bantal pegangan. Ditambah mikrofon dan jam untuk mengukur seberapa lama.
Untuk peraturannya sama yaitu satu juz kesalahan maksimal tiga dan maksimal tiga puluh lima menit.
Sebelum aku mulai, aku mendekati Ibu mencium tangannya. Meminta maaf sebanyak-banyaknya atas semua kesalahan dan hal-hal lain yang tidak terduga.
“Sudah bisa dimulai Mbak Nau? “ tanya Ulfi temanku.
Aku mengangguk “Ayo.”