PARADOKS

Robin Wijaya
Chapter #2

FRAGMEN 1 - AMRI. Chapter 1

Jakarta, Januari 2013.

 

Adakah musim yang tak berganti? Adakah waktu yang tak menghadirkan perubahan? Adakah memori yang tak lenyap dalam hidup? Kelak, kita pergi. Kematian telah menghentikan segala langkah yang berjalan beriringan dengan kehidupan.

Kita seringkali berpikir, kalau tak ada satu pun di dunia ini yang abadi. Termasuk kebersamaan. Namun, apakah kita pernah bertanya, ke mana langkah manusia setelah mereka pergi? Bisa jadi, kematian hanyalah sebuah waktu untuk menunggu pertemuan setelahnya. Mereka yang telah pergi, hanya mengambil langkah lebih awal. Kelak, kita akan menyusul mereka. Bertemu lagi, di satu tempat, satu masa. Maka kematian yang telah memutus kebersamaan manusia dengan orang-orang yang dicintainya, sebenarnya hanyalah sebuah pertemuan kembali dengan orang-orang yang telah pergi lebih dulu.

Aku bertanya dalam hati, adakah mereka di sini yang tak mengenal Bima?

Sekian orang datang melayat dan mengantar ke pekuburan. Apakah, mereka semua tahu tentang Bima?

Kalau mereka tahu, mereka tahu tentang, apa?

Kalau mereka kenal, mereka mengenal Bima sebagai, siapa?

Kalau mereka menangis, alasan mereka menangis, apa?

Aku tak terlalu paham manusia, seperti Bima mencoba memahami mereka. Yang kupelajari di bangku kuliah dan di ruang kerja hanyalah kesalahan dan kebenaran. Bukan alasan di baliknya. Meski sebagai pekerja hukum, aku sering dipaksa untuk berada dalam pemikiran tersebut. Mungkin aku mati rasa karena terlalu banyak bertemu mereka yang mengatasnamakan rasa sebagai alasan. Aku adalah semut yang mati di gudang gula.

Bima telah menjadi sosok manusia penuh toleransi. Dia punya penghargaan atas setiap pribadi. Penghormatan yang tinggi terhadap orang-orang yang dikenalnya. Tak ada alasan untuk merasa lebih di hadapan sesama. Mungkinkah, hal tersebut yang telah memancing tangis puluhan orang di belakang sana?

Aku tak tahu. Aku tak perlu mencari tahu. Semua jawaban sudah ada di hadapanku.

Pria itu berdiri di lingkar paling luar kerumunan pelayat yang mengelilingi pusara. Serbuk-serbuk hujan jatuh di kepalanya. Dia tidak menangis. Tidak sama sekali. Begitu pula aku. Aku menatapnya dari kejauhan. Chandra. Dia melepas kacamatanya, menghapus embun di sana, lalu mengenakannya lagi. Bukan air mata yang membuat kacamata itu berembun, melainkan hujan. Namun, bukankah ada kesedihan yang tidak bisa dijelaskan air mata? Kami tidak menangis, tetapi lubang di dada kami jauh lebih dalam dari liang kubur itu. Kematian Bima terlalu memukul kami semua.

Bima. Lelaki itu menempati ruang luas dalam ingatan kami. Kini, ruang tersebut kosong ditinggal pergi penghuninya. Seperti ruang kerjanya. Seperti kamar tidurnya. Seperti ruang rapatnya bersama kelompok ormasnya. Semuanya kosong. Tanpa Bima.

Aku merapat lebih dekat ke batu nisan. Sebagian orang telah pergi meninggalkan pekuburan. Dari sudut mata, aku melihat Chandra menjauh ke sebuah pohon besar. Sebentar lagi aku akan menyusul ia ke sana. Sebentar lagi. Sekarang aku perlu melihat nama sahabatku di batu nisan. Sekali lagi. Untuk merekam kenangan, bahwa pemakaman ini akan menjadi bagian dari memori hidup kami.

Sudah.

Lepaskan.

Ikhlaskan.

Aku melihat kakak lelaki Bima terisak di balik kemeja hitam yang semakin kuyup diterpa gerimis. Bahkan ia tak berpayung sama sekali. Tak takut hujan akan membuat tubuhnya roboh karena sakit. Saat ini, tak ada yang ia takuti selain kenyataan bahwa ia akan menempuh hidup sendirian, tanpa adik laki-laki satu-satunya itu. Betapa kepergian Bima menjadikan luka bagi banyak orang. Tiba-tiba saja, aku kembali lupa bagaimana caranya menjadi ikhlas.

Aku menghampiri lelaki tersebut. Mengusap punggungnya perlahan, menguatkan. Singkat saja. Lalu kukatakan, kalau aku akan pergi sekarang. Dia mengangguk dalam tangisan. Aku bangkit. Pergi.

Chandra melipat tangan, bersandar di bawah pohon. Asap mengepul dari mulutnya. Puntung rokok dilemparnya ke rumput basah. Lalu ia mengambil sebatang yang baru, menyelipkannya di celah bibir, dan membakar ujungnya dengan korek gas yang ia keluarkan dari saku jaket jeans-nya. Ia mengisap dalam-dalam.

Melihatku berlalu di depannya, ia mengekoriku. Sambil melangkah, mataku dan mata sipit Chandra di balik kacamatanya menoleh lagi ke arah makam. Bukan ucapan selamat tinggal, sebab kami tahu bahwa perpisahan ini hanya sementara.

               Kami berdua berjalan keluar area pemakaman menuju tempat parkir. Kerumunan orang di sekitar makam masih ada. Tak tahu, berapa lama lagi mereka berdiam di bawah guyuran hujan. Menangisi sosok yang pernah ada dalam hidup mereka.

Lihat selengkapnya